mongabay

Hutan Kalteng yang terbabat sawit. Di daerah ini, tak jarang dijumpai perusahaan membuka hutan hanya berbekal izin dari kepala daerah tanpa ada izin soal penggunaan hutan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, berulang kali mengatakan, illegal logging kini bertransformasi, salah satu lewat pembukaan huta n buat kebun sawit dengan kayu-kayu ilegal yang beredar di pasar. Sudah ada SVLK saja, hal seperti ini masih terjadi, apalagi SVLK diabaikan? Foto: Save Our Borneo

Perintah Presiden Joko Widodo kepada jajarannya agar memberikan kemudahan bagi pebisnis maupun investor, tampaknya ditanggapi kebablasan tanpa memikirkan dampak buruk yang bakal muncul ke depan. Satu contoh, revisi Peraturan Menteri Perdagangan tentang industri kehutanan yang sedang disusun seakan mengabaikan sertifikasi verifikasi legal kayu (SVLK).

Draf aturan itu, antara lain menyatakan, industri kecil menengah bisa ekspor produk cukup menggunakan deklarasi ekspor (DE). Sebelumnya, DE bisa dipakai oleh IKM selama belum memiliki sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK) sampai Desember 2015. Namun, dalam revisi itu tak menyebutkan batas waktu dengan kata lain tak perlu pakai SVLK karena cukup menggunakan DE. Jika berlaku, aturan ini dinilai bakal memarakkan kembali illegal logging dan hutan makin terancam.

“Ini jadi persoalan Permendag 66 mengacuhkan itu. DE tak dinyatakan ujung sampai 31 Desember 2015. Artinya berlaku seterusnya. Artinya SVLK tak ada gunanya. Ini kurang pas. Kita tak beri reward pada yang patuh dan yang tak taat hukum malah dapat reward,” kata  Ida Bagus Putera Prathama, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jumat akhir pekan lalu.  Untuk itu, KLHK meminta, pembahasan kembali Permendag ini.

Kemendag seakan menganggap SVLK menghambat ekspor. Padahal, jika melihat data ekspor produk kayu malah mengalami peningkatan sejak pemberlakuan SVLK.

Putera memaparkan,  nilai ekspor dalam beberapa tahun belakangan setelah menggunakan V-Legal malah mengalami peningkatan. Pada 2013, nilai ekspor industri perkayuan US$6,067,388,152, 2014 naik menjadi US$6,602,595,732 dan 2015, baru sampai September sudah US$8,034,792,378. Kala dilihat perbandingan antara nilai ekspor menggunakan DE (15 HS Code) sampai September 2015 sebesar US$162,340,187.48 (2%), V-Legal (15 HS Code) US$1,421,809,541,99 (17,70%). Nilai ekspor yang menggunakan dokumen V-Legal US$8,034,792,278,38.

“Dari hasil pemanfaatan hanya 2% yang pakai DE. IKM yang sudah SVLK, sebagian sudah berproses dari 700-an IKM. Januari 2016 yakin IKM bisa semua dapat SVLK. Apa yang perlu kemudahan? Kan udah gak masalah?”

Tak jauh beda Agusjusnianto, Staf Ahli Bidang Sumber Daya Alam KHLK. Menurut dia, tak beralasan jika SVLK dikatakan menghambar ekspor jika melihat nilai ekspor yang malah meningkat kala penerapan dokumen ini.

Soal IKM yang disebut-sebut sulit menjadapatkan SVLK, sebenarnya sudah mendapatkan fasilitasi. Dia menyebutkan, IKM terdaftar 804 unit, pakai DE 352 unit. IKM sedang dan sudah peroleh SVLK sampai kini 278 unit. Sebenarnya,  dari 352 IKM, hanya 74 unit belum ber-SVLK. “Artinya, kita yakin sampai 31 Desember atas fasilitasi KLHK, semua ini bisa mendapatkan. Dari sisi kita, tak ada masalah dengan negosiasi karena sudah menjanjikan semua IKM pengguna DE bersertifikat SVLK.”

Namun, masalah menjadi melebar kala revisi Permendag ini, Kemendag menghilangkan  eksportir terdaftar produk industri kehutanan (Etpik). “Ini jadi berantakan semua. Yang tadinya kita target dan keluarkan anggaran besar, dengan konsep ini jadi tak berarti.”

Dalam draf revisi itu, ekspor produk kehutanan sudah bisa dilakukan oleh perusahaan (industri) kehutanan yang miliki tanda daftar industri atau izin usaha industri dan perusahaan perdagangan bidang ekspor produk industri kehutanan yang memiliki SIUP dan TDP. “Ini sangat-sangat mudah, sudah dipangkas, mudah banged. Bisa dibayangkan…”

Diamini Putera. Dengan deregulasi itu, hanya dengan ada SIUP dan izin industri IKM bisa ekspor. “Ini jadi perdebatan kita. Ini jadi melebar dengan deregulasi yang mereka keluarkan. Filternya gimana? Ini harus dipikirkan ulang. Konteks beda.  Sampai akhir pembicaraan, belum ada titik temu.”  Untuk itu, katanya, Senin (5/10/15), KLHK dan Kemendag akan kembali rapat dengan mengajak asosiasi pengusaha.

Smita Notosusanto, Direktur Program dari Multistakeholder Forestry Programme mengatakan, Kemendag mungkin tidak menyadari tren pasar internasional, yang makin meningkat permintaan kayu dari hasil hutan kelola lestari.

“Gampang saja, mau berangkatkan orang untuk ekspor, tapi apa pasar mau terima? Lama-lama kita juga tak akan dapat segmen pasar dan pendapatan yang diharapkan Kemendag,” katanya.

Dia merasa rancu juga kalau SVLK dibilang menghambat ekspor. “Ini justru naikkan ekspor kayu. Uni Eropa saja 28 negara, yang haruskan negara anggota impor kayu yang dikelola lestari. Kita juga ada perjanjain dengan Australia dan lain-lain. Pasar lain juga banyak tuntut kayu lestari. Kalau tinggalkan ini, kita akan balik lagi ke negara penyelundup kayu ilegal.”

Putera menambahkan, UE itu sebagai awal saja. Realitas perkembangan di pasar global menuntut produk-produk kayu lestari.  Selain itu, katanya, jika berbicara pengaruh, negara juga perlu citra.

“Mengapa SVLK sangat didukung Kementerian Luar Negeri, karena bagi Kemenlu bantu duduk tegak ketika bernegoisasi dengan negara lain. Kemenlu sangat dukung. Selain itu, citra produk suatu negara jelas sangat besar mempengaruhi konsumen Kalau SVLK diabaikan, bisa jeblok. Ini kok udah diujung, nol lagi.”

Asosiasi: SVLK menguntungkan

Lisman Sumarjani, Direktur Asosiasi Industri Mebel Indonesia (Asmindo) mengatakan, menggunakan dokuman SVLK itu menguntungkan. Dia berbagi pengalaman kala pergi ke pameran Singapura.  Di sana, katanya, berkumpul asosiasi mebel se ASEAN. “Indonesia dapat presentasi dari Uni Eropa, soal kayu yang wajib lestari. Malaysia ketakutan. Vietnam panik. Mereka merasa harus mulai ini. Hemat saya, SVLK itu keuntungan,” katanya.

Dia menjelaskan, eksportir itu ada yang rutin, misal setahun berapa ratus kontainer dan ada yang sesekali mendapat order.  Bagi eksportir rutin, bukan cuma SVLK, apapun  permintaan pasar mereka penuhi. “Mau pasar minta ISO 9000, minta FSC semua dipenuhi. Gak masalah.”

Yang menjadi masalah, katanya, sebagian IKM itu ekspor kadang-kadang, misal, setahun hanya empat kontainer. “Tentu sulit perusahaan-perusahaan seperti ini mudah penuhi berbagai persyaratan. Ada karakter pengusaha seperti itu. Sebagian anggota kita juga gitu.”

Dia sudah menjelaskan kepada anggota Asmindo, bahwa dengan DE itu  hanya memastikan kayu keluar dari pelabuhan Indonesia. “Jadi, saya bilang, pastikan mau ekspor ke mana? Jangan dipikir kalau ada DE bisa ekspor ke mana-mana.”

Pasar seperti Amerika, Uni Eropa, sudah menuntut produk-produk kayu lestari. Juga Jepang dan Australia. “China itu bukan tujuan ekspor utama. Mereka itu eksportir.  Sekarang kalau kita mau ekspor, kita harus penuhi (syarat-syarat). Kalau anggota-anggota kami yang rutin, itu semua sertifikat ada.”

Kemunduran tata kelola hutan

M Kosar dari Forest Watch Indonesia selaku pemantau independen SVLK pun menanggapi.  Dia menilai, revisi Permendag ini sebagai kemunduran tata kelola hutan di Indonesia.  “Kami menyesalkan, sampai saat ini alasana-alasan klasik terkait peningkatan ekspor produk-produk sumber daya alam termasuk kayu masih terjadi saat ini.”

Dia mengatakan, SVLK itu produk bersama para stakeholder  dari pemerintah, pengusaha sampai kalangan organisasi masyarakat sipil. Namun, dia khawartir dengan pengabaian terhadap SVLK ini. “Mari kembali ke perbaikan tata kelola waktu 2002 didengung-dengungkan. Saat itu terjadi penabangan liar masif. Di titik itu sebetulnya sistem ini mulai dbangun.”

SVLK, katanya, juga  bukan untuk kepentingan memenuhi keinginan orang di luar Indonesia. Sistem ini, kata Kosar, sudah disiapkan dari awal demi perbaikan tata kelola agar hutan tak mengalami kehancuran lebih parah. “Mestinya Kemendag lebih menyadari SVLK ini tak hanya bicara kayu dan produk itu bisa ekspor. Tetapi SVLK ini juga soal tata kelola kehutanan. Di mana sistem perizinan yang dulu dipersoalkan dan sekarang berubah ke arah lebih baik. Jadi, bukan hanya persoalan perdagangan kayu tertapi perbaikan tata kelola.”

Meskipun, katanya, sudah ada SVLK juga masih terjadi praktik-praktik ilegal, tetapi sudah mulai ditekan. “Kami sangat kecewa karena sampai saat ini Kemendag nyatakan, sumber daya hutan hutan jadi alasan ekspor harus ditingkatkan dan aturan dilemahkan.”

Senada dikatakan Christian Purba, Direktur FWI. Menurut dia, rencana melanjutkan DE merupakan bentuk melenggangkan cara cara klasik untuk ekspor tanpa mempertimbangkan keabsahan dari produk kayu. “Ini juga menunjukkan, kebijakan pemerintah tidak sinkron dan malah kontraproduktif,” katanya.

Kejadian ini, katanya,  juga menunjukkan koordinasi lintas sektoral pemerintah minim. “DE merupakan bentuk kemudahan tanpa mempertimbangkan kehancuran sumber daya hutan kita yang terus menjadi sasaran eksploitasi.

SVLK dibangun sebenarnya diharapkan menjadi instrumen yang bisa menghentikan perdagangan-perdagangan kayu ilegal. Terpenting, muara dari SVLK adalah instrumen untuk perbaikan tata kelola.”

Dia mengatakan, revisi Permendag 65/2015 ini,  jelas jelas mencederai komitmen Indonesia untuk pembenahan tata kelola hutan. “Karena SVLK akan menjadi pintu masuk.

Dengan kebijakan ini akan menyulitkan untuk memastikan kayu-kayu ekspor memiliki kejelasan sumber kayu. Jika  DE tanpa batas waktu, kemungkinan besar akan memuluskan praktik-praktik pencucian kayu dan volume  tentu akan tambah banyak.”

Menurut Bob, panggilan akrabnya, kalau dikatakan SVLK menghambat ekspor IKM tentu tidak. Mengapa? Karena saat ini sudah banyak anggota Asmindo mendapatkan SVLK.

Jadi, katanya, Permendag ini harus direvisi dengan pemberlakuan DE sampai akhir tahun ini. “Itu artinya seluruh IKM dan industri harus mengikuti skema SVLK  yang berlaku awal tahun depan.”

Dia menekankan lagi, kalaupun saat ini DE berlaku  itu hanya kebijakan transisi. “Sampai SVLK akan diberlakukan semua Januari 2016.”

Untuk itu, katanya, masalah yang harus dibenahi saat ini koordinasi antarkementerian. “Gampang diucapkan tetapi sangat susah dipraktikkan. Atau pilihan lain bagaimana kebijakan SVLK juga diperkuat hingga bisa mengatur kementerian-kementerian lain di luar KLHK? Ini akan menghindari kejadian seperti DE, di satu sisi akan dihapus tetapi di kementerian lain dilanjutkan tanpa batas waktu.”

http://http://www.mongabay.co.id/2015/10/05/bila-deklarasi-ekspor-abaikan-svlk-nasib-hutan-bakalan-makin-merana/