Sumber Foto: Buku JPIK

Jakarta, 28 Februari 2018. FWI memaparkan dalam tiga periode, hutan alam di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku Utara, telah hilang 718 ribu hektare. Setiap jamnya, 42 kali lapangan bola, hutan alam hilang di tiga provinsi tersebut. Kajian JPIK terhadap 296 sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) IUIPHHK-HA dan HT menemukan 197 pemegang izin memiliki nilai buruk pada aspek produksi. Temuan-temuan ini menjadi pertanyaan besar terhadap praktik pengelolaan hutan berkelanjutan, serta akan berdampak pada lambannya penyelesaian permasalahan pengelolaan hutan saat ini terutama pada aspek sosial dan ekologi.

Hari ini, FWI dan JPIK meluncurkan buku ‘Deforestasi Tanpa Henti’ dan ‘SVLK: Proses Menuju Tata Kelola Bertanggung Gugat’. Sejak tiga tahun terakhir, FWI melakukan kajian di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku Utara untuk melihat tren dan penyebab langsung deforestasi. Laju deforestasi di tiga provinsi periode 2013-2016 meningkat dibandingkan periode pemantauan sebelumnya (2009-2013), yaitu dari 146 ribu hektare/tahun menjadi hampir 240 ribu hektare/tahun. Maluku Utara, laju deforestasinya bahkan mencapai lebih dari dua kali lipat peningkatan dari 25 ribu hektare/tahun menjadi 52 ribu hektare/tahun. Begitu juga dengan Kalimantan Timur meningkat hampir dua kali lipat, dari 84 ribu hektare/tahun menjadi 157 ribu hektare/tahun. Sementara di Sumatera Utara laju deforestasi sedikit menurun dari 37 ribu hektare/tahun menjadi 29 ribu hektare/tahun.

Agung Ady, Pengkampanye FWI mengungkapkan deforestasi yang saat ini terjadi sudah mulai menyasar wilayah-wilayah yang masih memiliki hutan alam yang baik, khususnya wilayah timur Indonesia. “Ini menjadi peringatan bagi kita bahwa sisa hutan alam yang banyak terdapat  di wilayah timur Indonesia amat terancam keberadaannya. Mengingat peningkatan laju yang signifikan dan izin-izin investasi yang terus bergerak ke areal-areal yang masih berhutan lebat”, ungkap Agung.Hampir 50% atau 11,2 juta hektare daratan di Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara dikuasai oleh korporasi-korporasi pemegang izin (HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan). Hanya 4% atau 812 ribu hektare daratan yang dialokasikan untuk masyarakat dalam berbagai bentuk perhutanan sosial (Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan, Hutan Desa, dan Hutan Adat). “Selain menjadi penyebab langsung deforestasi, ketimpangan penguasaan lahan di tiga provinsi tersebut juga berdampak pada konflik sosial yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat,” Lanjut Agung.

Delima Silalahi, Koordinator Divisi Studi dan Advokasi KSPPM menambahkan, “Penebangan hutan yang juga didalamya terdapat tanaman kemenyan masyarakat masih terjadi di wilayah konsesi PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Konsesi PT. TPL selama ini tumpang tindih dengan wilayah adat masyarakat. Walau mendapat penolakan dari masyarakat adat di lokasi tersebut, perusahaan masih saja berupaya memasuki wilayah adat mereka”.

Hal yang sama juga diungkapkan Fathur Roziqin, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur. “Konflik tenurial antara masyarakat Desa Lebak Cilong dengan PT. ITCI Hutani Manunggal (IHM) terjadi setelah klaim PT. IHM bahwa mereka berhak mengelola lahan yang selama ini dikelola masyarakat, karena telah mendapat izin konsesi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal lahan tersebut telah turun-temurun dikelola oleh masyarakat.”

Permasalahan deforestasi yang tidak pernah selesai memunculkan adanya inisiatif sertifikasi pengelolaan hutan atau yang dikenal dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Adanya sistem ini diharapkan mampu mengurangi laju deforestasi yang terjadi di Indonesia. Namun pada praktiknya SVLK masih memerlukan perbaikan agar tercipta tata kelola hutan yang baik.

Pada periode 2014-2017, JPIK masih menemukan beberapa kelemahan dalam pelaksanaan SVLK, terutama pada aspek pengawasan dan penegakan hukum. Selain itu, pemantauan independen oleh masyarakat sipil masih harus terus menerus digalakan, melalui jaminan keberlangsungan pemantauan dan ketersediaan data dan informasi. Hal ini sebagaimana tertuang dalam peraturan SVLK dan perjanjian kerjasama sukarela Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa melalui kesepakatan FLEGT-VPA.

Dhio Teguh Ferdyan, Pengkampanye JPIK menyatakan, “Perkembangan, pencapaian dan penerapan SVLK sebagai salah satu upaya dalam mereformasi tata kelola hutan patut diapresiasi. Meskipun belum sempurna, tetapi dokumen ini telah memaksa berbagai pihak untuk melakukan perbaikan.”

Hasil pemantauan JPIK terhadap 54 pemegang izin yang memiliki sertifikat SVLK (PHPL dan VLK) masih menemukan persoalan terkait konflik tata batas, rendahnya pengakuan hak-hak dasar masyarakat hukum adat dan masyarakat setempat, serta lemahnya upaya perlindungan hutan pada pemegang IUPHHK-HA dan HT. Sedangkan pemilik izin industri, masih ditemukan permasalahan tentang legalitas dan ketidaksesuaian izin, implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta ketidakjelasan sumber pemenuhan bahan baku bagi industri.

“Penilaian/audit oleh Lembaga Sertifikasi masih menjadikan keberadaan dokumen sebagai acuan pemegang izin dalam mendapatkan sertifikat SVLK. Proses keluarnya izin yang sarat korupsi, masuknya kayu ilegal ke dalam rantai pasok, dan upaya penyelesaian konflik yang tidak komperehensif harusnya menjadi fokus utama dalam melakukan penilaian” lanjut Dhio.

M. Ichwan, JPIK Jawa Timur menuturkan, penilaian SVLK harus menunjukkan tren perubahan kinerja yang membaik. Hasil penilaian yang berpredikat sedang atau buruk seharusnya berubah menjadi baik pada periode penilikan atau re-sertifikasi.

Perbaikan transparansi dalam pelaksanaan SVLK juga harus ditingkatkan, dimana seluruh proses pelaksanaan SVLK termasuk penyediaan data dan informasi untuk pemantauan, proses penanganan laporan, serta penindakannya harus terbuka dan dapat diakses publik. “Meskipun telah diatur tentang hak dan kewajiban pemantauan independen dalam peraturan SVLK, Pemantau Independen masih mengalami keterbatasan dalam mengakses data dan informasi untuk kepentingan pemantauan, terutama data dan informasi yang berada dibawah kewenangan Pemerintah Daerah” lanjut Ichwan.

Lemahnya penegakan hukum dan penerapan sanksi bagi pemiliki izin yang melanggar menjadi sorotan JPIK. Sanksi tegas pencabutan sertifikat bagi pemegang izin yang memiliki kinerja buruk dan menolak penilikan harus ditindaklanjuti dengan pencabutan izin usaha. Disisi lain, upaya peningkatan penatausahaan kayu untuk meminimalisir bercampurnya kayu ilegal kedalam rantai suplai SVLK dan koordinasi antar lembaga ditingkat pusat dan daerah harus diperkuat.

Sebagai sebuah sistem, SVLK harus menempatkan aspek sosial/konflik, proses perolehan izin (korupsi perizinan), dan kebakaran hutan sebagai indikator utama lulusnya penilaian. Selain itu, sinergisitas upaya pencegahan dan penegakan hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus terus dilakukan agar SVLK benar-benar menjadi perwujudan instrumen pembenahan tata kelola (good governance) yang kredibel dan akuntabel.

***

Catatan Editor :

  • Pada periode 2013-2016 hutan alam di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku Utara, hilang seluas 718 ribu hektare. Dari total 718 ribu hektare deforestasi yang terjadi di tiga provinsi tersebut, sekitar 517 ribu hektare (72%) terjadi di areal yang telah dibebani izin pengelolaan. Baik itu HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan. Areal izin HPH menjadi penyumbang terbesar deforestasi seluas 83,8 ribu hektare, disusul pertambangan 83,3 ribu hektare, perkebunan kelapa sawit 76 ribu hektare dan HTI 37 ribu hektare. Sementara itu, ada sekitar 235 ribu hektare deforestasi terjadi di areal-areal yang terjadi tumpang tindih perizinan.
  • Luas total daratan Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara adalah 22,7 juta hektare.
  • SVLK adalah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, sebuah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. SVLK merupakan sistem jaminan legalitas kayu yang diakui dalam VPA antara Indonesia dan Uni Eropa.
  • VPA adalah perjanjian bilateral dalam kerangka Forest Law Enforcement Governance and Trade(FLEGT) antara Negara produsen kayu dan Uni Eropa, yang bertujuan membasmi perdagangan kayu illegal. VPA meliputi negosiasi mengenai Sistem Jaminan Legalitas kayu dan Lisensi ekspor FLEGT yang dikeluarkan bagi produk kayu yang terverifikasi legal. Pengiriman kayu dengan lisensi Ekspor FLEGT akan mendapatkan “jalur hijau” ke pasar Uni Eropa dan terbebas dari undang-undang EU Timber Regulation. FLEGT-VPA antara Indonesia dan EU ditandatangani pada 30 September 2013 dan telah diratifikasi kedua belah pihak pada 2014.
  • Lisensi FLEGT adalah pengakuan atas skema SVLK (pelaksanaan penuh VPA), sehingga pihak Uni Eropa tidak perlu lagi melakukan uji tuntas. Lisensi FLEGT tidak bisa dimulai sampai suatu penilaian gabungan dari sistem verifikasi legalitas Indonesia dan UE mengkonfirmasi bahwa sistem tersebut sudah operasional secara penuh, sebagaimana dijabarkan di dalam VPA. Kriteria evaluasi dijabarkan di dalam Annex VIII dari VPA. Sampai dengan September 2016, Indonesia telah memiliki lebih dari 20 lembaga otoritas penerbit lisensi FLEGT.

Download Dokumen Press Release

Kontak Untuk Wawancara :

Agung Ady Setyawan , Pengkampanye FWI  agung_ady@fwi.or.id  +6285334510487

Dhio Teguh Ferdyan, Pengkampanye JPIK  dhio.jpik@gmail.com  +6281374139842

Ichwan, JPIK Jawa Timur ichwan.pplh@gmail.com  +6281335174892

Fathur Roziqin, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur  fathur@walhikaltim.or.id +6281226800223