Pemanfaatan hasil hutan kayu, khususnya di hutan negara, telah menjadi perhatian dunia sejak awal 90an dan pada saat itu dilahirkan ide sertifikasi ekolabel. Asumsi utama adanya inisiatif itu bahwa dengan adanya syarat tertentu yang harus dipenuhi produsen untuk setiap kubik kayu yang diperdagangkan secara internasional, akan diikuti oleh upaya produsen itu untuk memenuhi syarat-syarat tersebut. Untuk itu diharapkan terdapat dua reaksi. Pertama, manajemen perusahaan akan menyesuaikan diri dengan standard pasar. Kedua, Pemerintah berkomitmen memperbaiki regulasi dan kebijakan, agar respon perusahaan terhadap stardard pasar dapat berjalan.

Ketika proses sertifikasi itu berjalan hingga awal tahun 2000—sebagai batas akhir target ITTO mewujudkan produsen kayu tropis menjalankan pengelolaan hutan lestari, mulai terlihat asumsi-asumsi itu tidak berjalan, kemudian perkembangan kebijakan berlanjut. Pemikiran yang kuat saat itu, bahwa upaya itu perlu bertahap (phase approach). Dengan begitu, perusahaan tidak langsung dihadapkan pada upaya sulit—karena juga tergantung pada komitmen Pemerintah, tetapi secara konsisten akan menjalankan tahapan-tahapan. Dari situ muncul pandangan misalnya bahwa tahap pencapaian legalitas (Verifikasi Legalitas Kayu/VLK) adalah tahapan yang pertama. Namun, agar juga menjadi insentif bagi perusahaan, sejak dapat mencapai tahap pertama itu sudah harus mendapat insentif dari ekspor produknya. Tentu, dengan syarat lainnya seperti dapat dipenuhinya keterlacakan produk dari hutan yang dikelolanya (chain of custody). Sejalan perkembangan itu mucul pula inisiatif-inisiatif pengembangan kapasitas unit manajemen agar dapat mencapai standard legalitas menuju ke well manage forest.

Saat ini, setelah 22 tahun berjalan, VLK yang diwajibkan Pemerintah dan sertifikasi hutan lestari secara lestari, mempunyai peran penting, meskipun terdapat kelemahan-kelemahan. Relevansi peran itu harus diletakkan dalam suatu kenyataan bahwa lingkungan usaha kehutanan dan industrinya, baik besar maupun kecil, masih diliputi oleh rendahnya tatakelola (bad governance). Suatu kondisi dimana, di satu sisi, biaya produksi menjadi tinggi akibat banyaknya suap/peras, tetapi disisi lain terdapat kesempatan untuk melakukan hal-hal yang dapat disebut sebagai illegal. Dalam kondisi demikian itu, sertifikasi dan VLK dapat dikatakan sebagai bentuk intervensi oleh pihak ketiga secara sukarela dan oleh pemerintah dengan sistem yang lebih terbuka. Namun demikian, beban yang ditanggung sistem itu nampak sangat berat, karena dengan kondisi bad governance (BG) sangat sulit tatakelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) dapat diwujudkan. BG dan GCG berhubungan sangat erat, bahkan cenderung mempunyai hubungan konflik kepentingan, yaitu menggunakan kewenangan-kewenangan negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Delegitimasi Sertifikasi/Verifikasi

Pada tahun 1991 jumlah usaha hutan alam (IUPHHK-HA) 580 perusahaan dengan luas 61,48 juta hektar dan usaha hutan tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 2 perusahaan dengan luas areal 83.083 hektar. Bersamaan dengan perkembangan sertifikasi/verifikasi tersebut, perkembangan sampai akhir 2017, jumlah perusahaan hutan alam yang tersisa sebanyak 262 perusahaan (45%) dengan luas areal 19,13 juta hektar (31%). Artinya, selama 26 tahun 318 perusahaan telah “mati” atau tidak beroperasi dan hutan alam produksi seluas 42,35 juta hektar (69%) telah berubah menjadi hutan sekunder. Hutan sekunder itu kemudian diusahakan oleh 281 perusahaan hutan tanaman (IUPHHK-HT) dengan luas areal mencapai 10,33 juta hektar. Kalkulasi di atas kertas, pemanfaatan hutan alam produksi yang kini telantar seluas 35,02 juta hektar. Disebut “di atas kertas” karena sebagian besar di antaranya telah berubah menjadi usaha pertambangan, perkebunan, ataupun permukiman.

Pada awal 2017, dari usaha hutan alam yang dikelola 220 perusahaan seluas 16,5 juta Ha dengan luas efektif 12,2 juta Ha (74%) mendapat sertifikasi PHPL dan/atau VLK. Dari semua perusahaan itu, tata batas yang telah ditetapkan hanya 16 perusahaan. Dari semua perusahaan itu, yang mengajukan VLK sebanyak 85 perusahaan (5,1 juta Ha) dan luas efektif 3,8 juta Ha (75%). Pada saat itu perusahaan yang mendapat standar VLK sebanyak 57 perusahaan namun tata batas yang sudah ditetapkan hanya 3 perusahaan. Diantara 57 perusahaan itu hanya 13 perusahaan (15%) yang memegang sertifikat PHPL dengan predikat baik.

Untuk perusahaan hutan tanaman, dari 281 perusahaan (10,3 juta Ha), 104 di antaranya (5,8 juta Ha) yang masih aktif telah mendapat sertifikasi PHPL sebanyak 66 perusahaan serta VLK sebanyak 53 perusahaan. Dari perusahaan yang mendapat VLK itu, perusahaan yang tata batas areal kerjanya belum ditetapkan serta hasil evaluasi KLHK dinyatakan tidak layak dilanjutkan sebanyak 12 perusahaan.

Kenyataan demikian itu menunjukkan bahwa untuk mewujudkan kelestarian hutan oleh perusahaan sangat tergantung berjalannya kebijakan publik oleh Pemerintah/Pemda. Bahkan kebijakan publik itu menjadi penentu apakah respon swasta untuk memenuhi standar-standar pasar dapat dilakukan atau tidak. Semakin buruk kebijakan publik, semakin mahal biaya mewujudkan hutan lestari sesuai standar pasar, dan semakin terbatas perusahaan yang dapat mengikutinya. Dalam hal demikian itu, terlihat sertifikasi hutan lestari yang dilakukan secara sukarela, hanya memiliki segmen kualifikasi perusahaan tertentu dan menghadapi banyak hambatan untuk dapat mengangkat perusahaan yang kinerjanya buruk menjadi baik. Data LEI (2018) menunjukkan angka hutan alam dan tanaman yang telah disertifikasi seluas 9,43 juta Ha (15% dari luas hutan produksi nasional), yaitu oleh FSC 5,9 juta Ha, PEFC 3,76 juta Ha dan LEI 2,34 juta Ha. Angka perkembangan luas sertifikasi tersebut sangat tergantung pada seberapa besar peningkatan kinerja tatakelola (good governance) pemerintahan, khususnya perizinan, dapat diwujudkan. Adapun untuk VLK yang bersifat mandatori, karena diletakkan bagi pemenuhan persyaratan administrasi, maka dalam verifikasi pengusahaan hutan negara ini, umumnya legalitas sekaligus legitimasi oleh masyarakat luas belum didapatkan. Hal ini disebabkan antara lain sistem yang berjalan tidak cukup memberi paksaaan agar Pemerintah mengoreksi pelaksanaan kebijakan-kebijakan sebagai penyebabnya.

Kenyataan-kenyataan di atas dapat diinterpretasikan sebagai berikut. Pertama, hampir seluruh kondisi unit manajemen sekitar 25% areal kerjanya tidak efektif dikerjakan. Hal ini umumnya terdapat klaim atau hak masyarakat adat atau lokal, tumpang tindih dengan tambang maupun kebun khususnya kelapa sawit. Masalah struktural seperti itu cenderung tidak dapat diselesaikan sendirian oleh perusahaan atas rekomendasi dari proses sertifikasi (PHPL) ataupun verifikasi (VLK). Kedua, sertifikasi maupun VLK dengan menggunakan tolok ukur legalitas secara administratif—atau dinyatakan sesuai dengan peraturan-perundangan, pada kenyataannya tidak menjawab persoalan kelestarian. Itu disebabkan akibat substansi dan/atau pelaksanaan peraturan-perundangan tidak menjawab persoalan-persoalan mendasar kelestarian hutan. Misalnya, dalam proses sertifikasi/verifikasi terdapat perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai legalitas penetapan tata-batas areal kerjanya dan/atau kinerjanya tidak baik, juga lulus sertifikasi atau verifikasi. Ketiga, instrumen sertifikasi dan verifikasi secara substansial tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan kelestarian hutan dan usahanya, karena banyak faktor lain di luar jangkauannya yang menentukan kelestarian hutan dan usaha. Dalam konteks itulah bagi VLK yang pelaksanaannya diwajibkan, dapat kehilangan kredibilitasnya ketika BG masih melingkupinya. Atas dasar kondisi semua, masa depan sertifikasi maupun VLK sangat tergantung apakah GG dan GCG dapat diwujudkan.

Administrasi vs Substansi

Pada era saat ini, dimana informasi lapangan lebih mudah bisa didapatkan oleh siapapun, kinerja suatu usaha hasil hutan tidak dapat hanya diukur dari persyaratan-persyaratan administrasi, yang seringkali bertentangan dengan kondisi substansial nyata di lapangan. Sementara itu, yang menjadi perhatian publik adalah kenyataan di lapangan itu. Perbedaan administrasi—substansi itu akan sampai pada kenyataan bahwa yang mendapat VLK (pemenuhan syarat administrasi) bisa masih terdapat konflik ataupun bahkan terjadi illegal logging. Kenyataan seperti itu menjadi argumen mengapa VLK lebih rendah posisi kredibilitasnya daripada sertifikasi sukarela. Di luar itu, fakta ini sesungguhnya sejalan dengan pemikiran semula seperti disebut pada awal tulisan ini, bahwa VLK tahap awal dari proses menuju sertifikasi sukarela itu/menuju pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan.

Terdapat pula suatu kenyataan bahwa inisiatif anti-korupsi oleh swasta saat ini, yang diinisiasi oleh KPK, yaitu bidang-bidang: migas, infrastruktur, kehutanan, pangan, dan kesehatan, dan yang paling lambat perkembangannya yaitu sektor kehutanan. Indikasi yang diutarakan, bahwa standar-standar internasional membantu menentukan respon positif perusahaan, juga sebagai akibat diterapkannya GCG. Maka, mengapa sebagian pihak beranggapan FSC dan PEFC lebih diterima di pasar dunia, adalah suatu fakta yang terverifikasi. Terdapat pertanyaan substansial dalam hal ini, apabila sertifikat atau verifikasi belum tentu dapat menjadi indikasi kelestarian dan profitabilitas perusahaan—dengan data seperti diuraikan sebelumnya, pertanyaannya: Apakah sertifikasi dapat mewujudkan tujuannya tanpa prakondisi GCG, dan apakah GCG dapat diwujudkan tanpa GG?

Terkait dengan pertanyaan itu, catatan dari diskusi para pegiat sertifikasi di Bogor 12 Oktober 2018 yang lalu, pertama, masih ditemukan persoalan kapasitas sertifikasi/verifikasi seperti soal kualifikasi, kredibilitas dan jumlah auditor. Hal ini menjadi salah satu penyebab sertifikat/verifikasi dapat dimanipulasi. Kedua, regulasi yang menentukan kelestarian hutan masih bermasalah, sehingga hanya dengan menyatakan “sesuai dengan peraturan”, legalitas ataupun kelestarian belum tentu terwujud. Ketiga, hasil sertifikasi/verifikasi dan pembelajarannya belum digunakan sebagai informasi penting dalam perbaikan peraturan-perundangan. Keempat, terdapat sejumlah masalah untuk mewujudkan legalitas ataupun kelestarian hutan di luar batas kemampuan inisiatif sertifikasi, misalnya soal-soal politik,  backing pelaksanaan illegal logging, penggunaan areal konsesi bagi tambang dan kebun, pemerasan dalam perizinan, dan lain sebagainya. 

Penutup

Salah satu pilar utama sistem sertifikasi/verifikasi adalah kredibilitasnya. Itulah mengapa pada awal pembentukannya, terdapat istilah sertifikasi oleh pihak ketiga, yang dapat membebaskan diri dari kepentingan pemerintah maupun swasta. Terkait dengan persoalan yang dikemukakan di atas, walaupun untuk mewujudkan kredibilitas menjadi tantangan yang tidak mudah, namun itupun tidak cukup.

Dalam sistem sertifikasi perlu difungsikan untuk melakukan input perbaikan kebijakan publik dari informasi yang dimilikinya. Walaupun begitu, saat ini belum waktunya mengambil asumsi bahwa kebijakan yang buruk dapat bertahan lama akibat tidak adanya informasi atau rekomendasi untuk perbaikan kebijakan. Secara umum yang terjadi, kebijakan buruk akibat konflik kepentingan. Dengan kebijakan buruk, segenap orang diuntungkan atau dapat memanfaatkan kondisi itu untuk kepentingan kelompok. Atau, kebijakan yang baik atau buruk, tidak berhubungan dengan posisi suatu jabatan, artinya tidak berhubungan dengan kepentingannya; maka cukup diabaikan saja. Ini menjadi persoalan lain yang berada di luar inisiatif sertifikasi.

Dari pembahasan ini semua, dapat ditunjukkan bahwa pelaksanaan sertifikasi tidak dapat terbebas dari baik-buruknya tatakelola. Semakin buruk tatakelola pemerintahan (BG), semakin tidak mungkin menyandarkan sertifikasi pada pelaksanaan peraturan-perundangan semata. Peran dan transparansi informasi sertifikasi/verifikasi bagi publik harus dapat ditingkatkan.

 

Sumber :