Bogor, 18 September 2019. Satu dekade proses perbaikan tata kelola hutan di Indonesia melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) kini terancam runtuh, hal ini akibat usulan tidak mewajibkannya penerapan SVLK untuk kegiatan ekspor ke Amerika yang digagas oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pada saat rapat terbatas dengan Presiden. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menyesalkan rencana ini karena akan menghancurkan seluruh upaya reformasi tata niaga kayu yang dikelola secara lestari dan berkelanjutan.
Sejak SVLK diberlakukan pada tahun 2009 dan melalui proses panjang yang melibatkan multipihak dalam pengembangan dan penyempurnaannya, Indonesia telah menjadi sorotan dunia internasional karena berhasil menjadi negara pertama yang mendapat Lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) dari Uni Eropa pada November 2016. Pelaksanaan skema Lisensi FLEGT merupakan salah satu capaian utama dari Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreement/VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum, Penatakelolaan, dan Perdagangan Sektor Kehutanan yang telah ditandatangani pada tahun 2013 dan diratifikasi pada tahun 2014.
Sebagai sebuah sistem jaminan kredibilitas dan akuntabilitas pengelolaan hutan dan produk turunannya (kayu), SVLK berfungsi untuk memastikan bahwa seluruh pemilik izin dan pemegang hak pengelolaan memenuhi (comply) terhadap seluruh peraturan dan kebijakan yang berlaku. Dengan demikian rencana penghapusan SVLK justru akan membuka peluang pelanggaran hukum dan ketidaktaatan terhadap kewajiban dalam pemenuhan bahan baku yang berasal dari sumber yang legal dan lestari. Hal ini jelas kontraproduktif dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam pemberantasan penebangan liar, mengurangi deforestasi, menurunkan emisi gas rumah kaca sebagai upaya dalam mencegah terjadinya perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia harus mengkaji dan memahami lebih dalam tentang isi dan ruang lingkup kemitraan dengan Uni Eropa, karena perjanjian tersebut mewajibkan Indonesia untuk melaksanakan SVLK (menggunakan Dokumen Lisensi FLEGT/Dokumen V-Legal) dalam melakukan perdagangan kayu dan produk kayu untuk seluruh negara pengimpor. “SVLK semestinya digunakan sebagai instrumen untuk mengukur kepatuhan dalam rangka menjalankan revolusi mental yang diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo, mental tidak taat hukum dan menabrak ketentuan pemerintah secara nyata bisa tertelusuri melalui SVLK. Selain itu, sistem ini juga mendorong peningkatan kinerja pemilik izin dan pemegang hak pengelolaan dalam menjalankan usahanya”, ujar Muhammad Ichwan, pengkampanye JPIK. JPIK mendesak Pemerintah untuk segera meningkatkan koordinasi dan menghentikan pembahasan tentang penghapusan SVLK, serta melanjutkan upaya penguatan, pendampingan dan memfasilitasi pembiayaan sertifikasi yang telah, sedang dan akan dilakukan pada Industri Kecil dan Menengah (IKM) dan pemilik hutan hak. Upaya ini mesti dilakukan secara kontinu, sehingga tidak dijadikan alasan/pembenaran-pembenaran oleh oknum tertentu yang mengatasnamakan industri kecil dan menengah yang memproduksi furniture untuk tidak melaksanakan SVLK. Pemerintah juga harus segera melakukan pengawasan, evaluasi dan penegakan hukum, serta memberikan sanksi yang tegas pada perusahaan yang terbukti melanggar. Hal ini penting untuk dilakukan agar kredibilitas dan akuntabilitas SVLK terjaga.