AsosiasiMebeldanKerajinanIndonesia_10Maret2016Jakarta, 10 March 2016. Sebuah laporan investigasi yang diluncurkan hari ini – Celah dalam Legalitas – mengungkap bagaimana Peraturan Menteri Perdagangan yang dikeluarkan pada 2015 telah dieksploitasi oleh sejumlah pengusaha kayu yang mengatasnamakan industri kecil dan menengah, yang secara signifikan telah melemahkan sistem verifikasi legalitas kayu yang berlaku di Indonesia.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 89/2015 ini mengeluarkan 15 jenis produk kayu dari kelompok mebel dan perabotan dari aturan mengikuti sertifikasi wajib Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang memverifikasi legalitas bahan baku dan operasional usaha. Peraturan ini juga menghilangkan kewajiban perusahaan untuk terdaftar sebagai ETPIK (Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan) yang sebelumnya merupakan syarat menjadi eksportir.

Terlebih lagi, peraturan ini membolehkan perusahaan untuk bebas mengekspor produk mebel dan perabotan tanpa harus menggunakan Deklarasi Ekspor, suatu aturan transisi yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan pada tahun 2014. Hal ini secara signifikan melemahkan peran SVLK dalam memastikan legalitas produk kayu yang diperjualbelikan. Permendag sebelumnya membatasi penggunaan Deklarasi Ekspor hanya untuk IKM dan berlaku hingga 31 Desember 2015, yang artinya setelah itu seluruh produk kayu yang diekspor harus tersertifikasi legal.

Investigasi dalam laporan –Celah dalam Legalitas- dilaksanakan pada 2015 dan 2016 oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) dan Environmental Investigation Agency (EIA). Para pemantau menyelidiki beberapa perusahaan yang paling banyak mengekspor produk kayu dengan menggunakan Deklarasi Ekspor –semuanya mengaku sebagai anggota Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI). Hasil pemantauan menemukan sejumlah pelanggaran, yang meliputi:

  • Perusahaan-perusahaan hitam melakukan ribuan pengapalan dengan tujuan ekspor yang bernilai miliaran rupiah dengan menggunakan Deklarasi Ekspor yang harusnya hanya bisa digunakan oleh IKM;
  • Meskipun terdaftar sebagai industri kehutanan, perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya tidak beroperasi sebagai industri (pengolahan atau pabrik), tapi lebih berperan sebagai pedagang atau broker bagi produk kayu yang diproduksi di tempat lain;
  • Perusahaan-perusahaan tersebut menjual Deklarasi Ekspor kepada perusahaan lain yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak bersertifikat SVLK sehingga seharusnya tidak bisa mengekspor;
  • Perusahaan tidak terdaftar dalam instansi pemerintah terkait.

Beberapa perusahaan yang teridentifikasi melakukan berbagai pelanggaran ini adalah CV V&V Logistic dan CV Greenwood International yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah, dan CV Rejeki Tirta Waskitha dan CV Devi Fortuna yang berlokasi di Jepara, Jawa Tengah. Perusahaan-perusahaan ini telah mengekspor ke Amerika Serikat dengan menggunakan ribuan DE sepanjang tahun 2015, meskipun tidak ada kegiatan produksi atau pengolahan industri kayu yang berlangsung di alamat mereka.

Muhamad Kosar, Dinamisator Nasional JPIK, mengatakan “Sejak dikeluarkan pada tahun 2015, penggunaan Deklarasi Ekspor telah didominasi oleh sekelompok kecil perusahaan anggota AMKRI yang tidak terlihat sebagai IKM atau menjalankan industri kayu yang sah. Ini adalah pedagang hitam dan broker yang jelas mengeksploitasi celah yang disediakan oleh Kementerian Perdagangan untuk menghindari kewajiban sertifikasi legalitas kayu dalam SVLK. ”

“Pemantauan kami menyoroti bagaimana penghilangan pemeriksaan independen atas kepatuhan legalitas para industri pengekspor –dengan membolehkan ekspor tanpa memenuhi kewajiban SVLK- telah secara fundamental melemahkan sistem verifikasi legalitas kayu Indonesia. Permendag No.89/2015 ini harus secepatnya direvisi”, jelas Kosar.

Christian Purba, Direktur Eksekutif FWI menambahkan, “ Permendag No.89/2015 secara subtansi jauh lebih lemah dari peraturan-peraturan sebelumnya dan menciptakan inkonsistensi struktural dalam upaya keras Indonesia untuk memperbaiki tata kelola kehutanan melalui pelaksanaan SVLK.”

Faith Doherty, pimpinan kampanye hutan EIA menyatakan, “ Permendag ini secara struktural dan teknis telah melanggar tujuan dan mekanisme dari SVLK dan Perjanjian kerjasama Uni Eropa-Indonesia (VPA) yang telah dibangun lebih dari satu dekade. Peraturan ini harus segera direvisi, atau akan mengganggu ruang lingkup dan tata waktu pelaksanaan VPA, yang kemungkinan akan berakibat pada perlunya negosiasi ulang VPA.
eia_fwi_jpik_10Maret2016

Catatan Editor:
  • Studi kasus para perusahaan di atas dapat dibaca dalam laporan “Celah dalam Legalitas: Bagaimana Keputusan Menteri Perdagangan Dimanfaatkan oleh Eksportir Kayu dan Melemahkan Reformasi Hukum” Laporan ini diterbitkan oleh FWI, JPIK dan EIA dan tersedia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Laporan ini dapat diakses dan diunduh melalui jpik.or.id
  • Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Saat ini FWI ditunjuk sebagai Sekretariat Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK).
  • JPIK adalah Jaringan Pemantau Independen Kehutanan yang telah disepakati dan dideklarasikan pada tanggal 23 September 2010, beranggotakan 64 LSM dan Jaringan LSM dari Aceh sampai Papua. Pembentukan JPIK sebagai wujud dari komitmen untuk ikut berkontribusi aktif dalam mendorong tata kepemerintahan kehutanan yang baik dengan memastikan kredibilitas dan akuntabilitas dari implementasi SVLK
  • EIA (Environmental Investigation Agency) adalah lembaga independen yang dibentuk pada tahun 1984, sebuah organisasi kampanye internasional yang berkomitmen untuk melakukan investigasi dan mempublikasi kejahatan lingkungan. EIA telah melakukan investigasi mengenai pembalakan liar di Indonesia sejak 1999.
  • VPA adalah perjanjian bilateral dalam kerangka Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) antara Negara produsen kayu dan Uni Eropa, yang bertujuan membasmi perdagangan kayu illegal. VPA meliputi negosiasi mengenai Sistem Jaminan Legalitas kayu dan Lisensi ekspor FLEGT yang dikeluarkan bagi produk kayu yang terverifikasi legal. Pengiriman kayu dengan lisensi Ekspor FLEGT akan mendapatkan “jalur hijau” ke pasar Uni Eropa dan terbebas dari undang-undang EU Timber Regulation. FLEGT-VPA antara Indonesia dan EU ditandatangani pada 30 September 2013 dan telah diratifikasi kedua belah pihak pada 2014.
  • SVLK adalah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, sebuah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. SVLK merupakan sistem jaminan legalitas kayu yang diakui dalam VPA antara Indonesia dan Uni Eropa.

 

Kontak Untuk Wawancara:
Christian Purba: +62 8121105172; bob@fwi.or,id;
Muhamad Kosar: +62 81318726321; mkosar@fwi.or.id;
Faith Doherty: +44 7583284070; faithdoherty@eia-international.org;

Unduh Siaran Pers:
Broker Kayu Memanfaatkan Peraturan Menteri Perdagangan, Mengancam Reformasi Hukum dan Perjanjian Internasional (Indonesia)