SIARAN PERS

Bogor, 3 Oktober 2013. Penandatanganan VPA (Voluntary Partnership Agreement) antara Indonesia dan Uni Eropa telah dilakukan 30 September 2013. Banyak pihak berharap kesepakatan kemitraan sukarela ini, menjadi salah satu peluang untuk memperkuat penegakan hukum, menghentikan perdagangan kayu ilegal dan mendorong perbaikan tata kelola hutan di Indonesia.

Setelah ditandatanganinya kesepakatan kemitraan sukarela ini, maka keseriusan Uni Eropa dan pemerintah Indonesia akan diuji dalam upaya pemberantasan penebangan dan perdagangan kayu ilegal. Tahapan berikutnya adalah melakukan ratifikasi oleh kedua pihak untuk memberikan landasan hukum bagi kesepakatan kemitraan sukarela ini. Setelah itu, maka seluruh produk kayu yang diekspor dari Indonesia ke Uni Eropa harus dilengkapi dengan dokumen V-Legal sebagai bukti produk yang dihasilkan berasal dari sumber legal dan berkelanjutan.

Dengan demikian akan ada banyak kewajiban yang harus segera diselesaikan oleh para pemegang ijin sebelum kesepakatan ini benar-benar diimplementasikan. Muhamad Kosar, juru kampanye hutan Forest Watch Indonesia (FWI), mengungkapkan, “Kenyataannya di bagian hulu seperti perusahaan-perusahaan IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Alam) dan IUPHHK-HT (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Tanaman), banyak yang belum memiliki sertifikat di dalam SVLK”. “Apalagi para pemegang IPK, persentasinya masih jauh dari jumlah total perusahaan IPK yang ada saat ini” ungkap M. Kosar.

Kompilasi data yang dilakukan oleh FWI menemukan, bahwa dari total 296 perusahaan IUPHHK-HA hanya ada 92 perusahaan yang memiliki sertifikat PHPL dan hanya 23 perusahaan yang lulus VLK-Hutan. Begitu juga dengan perusahaan IUPHHK-HT, dari 234 perusahaan yang aktif, hanya 32 perusahaan yang dapat sertifikat PHPL, dan untuk skema VLK-Hutan hanya ada 42 perusahaan.

Adanya penundaan kewajiban bagi perusahaan-perusahaan IUPHHK-HA dan HT untuk ikut SVLK seperti yang tertera di Permenhut No. 42/Menhut-II/2013, itu sama saja Kementerian Kehutanan membuka peluang kompromi. Muhamad Kosar, menjelaskan, “Penundaan waktu kepemilikan sertifikat bagi perusahaan-perusahaan ini telah terjadi sejak proses revisi Permenhut No. 38/Menhut-II/2009 dan ini sudah terjadi 3 kali.” “Jika penundaan ini terulang kembali, bukan hal yang tidak mungkin bila kredibilitas SVLK akan dipertanyakan,” ungkap Kosar.

Sementara itu, Abu Meridian selaku Dinamisator Nasional JPIK (Jaringan Pemantau Independen Kehutanan) mengatakan, terkendalanya pemantauan SVLK dikarenakan minimnya data dan informasi dasar tentang pemegang izin pengusahaan hutan dan industry. “Saat ini Pemantau Independen (PI) masih dihadapkan dengan ketidakjelasan dan ketidakterbukaan data dan infomasi di bidang kehutanan”, ungkap Abu.

Pemantau Independen telah menjadi bagian dari sistem SVLK dan keberadaannya diakui di dalam peraturan, maka seharusnya akses terhadap data dan informasi tidak menjadi perdebatan lagi. “Tidak hanya itu, kami juga meminta agar segera disusun sebuah protokol dan mekanisme pengaduan dan perlindungan ketika kami sedang melakukan pemantauan”, tutur Abu.

CATATAN UNTUK EDITOR:

  • Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu dan organisasi-organisasi yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Organisasi ini berbasis di Bogor. Informasi lebih jauh mengenai organisasi ini dapat dijumpai pada website www.fwi.or.id
  • JPIK adalah Jaringan Pemantau Independen Kehutanan yang telah disepakati dan dideklarasikan pada tanggal 23 September 2010 oleh 29 LSM dan Jaringan LSM dari Aceh sampai Papua. Pembentukan JPIK sebagai wujud dari komitmen untuk ikut berkontribusi aktif dalam mendorong tata kepemerintahan kehutanan yang baik dengan memastikan kredibilitas dan akuntabilitas dari implementasi sistem Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PK-PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) sebagaimana tertuang-namun tidak terbatas pada-Permenhut P38/2009 dan perubahannya dan peraturan turunannya.
  • Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) mengacu pada Permenhut No P.38/Menhut-II/2009 jo P.68/Menhut-II/2011 jo P.45/Menhut-II/2012 jo P.42/Menhut-II/2013. Sedangkan dokumen V-Legal merupakan lisensi dalam SVLK sebagai bukti produk yang dihasilkan berasal dari sumber-sumber yang legal dan berkelanjutan.
  • Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.38/Menhut-II/2009 dan perubahannya bisa dilihat dilink berikut ini: Kompilasi Permenhut P.38 Tahun 2009 dan perubahannya (SVLK)
  • Data dan informasi perusahaan yang sudah memiliki sertifikat berdasarkan presentasi pada acara workshop Pemantauan untuk Kredibilitas dan Akuntabiitas Pelaksanaan SVLK. Direktorat Jendral Bina Usaha Kehutanan, Kementrian Kehutanan pada 17 September 2013

Tabel_Okt

KONTAK UNTUK WAWANCARA:
Abu Meridian – Dinamisator Nasional JPIK
abu.meridian@gmail.com atau +62857-15766732
Muhamad Kosar – Juru Kampanye FWI
mkosar@fwi.or.id atau +6281318726321