Tana Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) memiliki hutan tropis terluas di Indonesia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018), luas kawasan hutan di Papua sebesar 38.153.269 hektare terbagi di Provinsi Papua seluas 29.368.482 hektare dan Provinsi Papua Barat seluas 8.784.787 hektare (atau 91,12% dari luas daratan Tana Papua). Namun perlahan tapi pasti hutan alam di Papua terus menyusut. Menurut data Auriga Nusantara (2022), luas hutan alam di Bumi Cendrawasih hanya tersisa ±33.847.928 hektare, terbagi di Provinsi Papua seluas 24.993.957 hektare dan Provinsi Papua Barat seluas 8.853.971 hektare. Dilihat dari penyebabnya, sebagian besar deforestasi di Tana Papua terjadi di dalam konsesi usaha industri ekstraktif, baik di sektor perkebunan, sektor kehutanan dan sektor pertambangan. Luas deforestasi yang terjadi di areal konsesi usaha industri ekstraktif mencapai 474.521 hektare, atau 71 persen dari total deforestasi yang terjadi di Tana Papua.
Meskipun Papua memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, namun ironisnya jumlah penduduk miskinnya masuk urutan teratas. Menurut data Badan Pusat Statistik (2022), jumlah penduduk Papua pada tahun 2021 sebanyak 5.512.285 jiwa, yang terbagi atas Provinsi Papua sebanyak 4.355.445 jiwa dan Provinsi Papua Barat sebanyak 1.156.840 jiwa. Dari populasi penduduk tersebut, jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua sebanyak 26,86%, dan di Provinsi Papua Barat sebanyak 21,84%.
Berkenaan pengakuan hutan adat, setelah menunggu selama 10 (sepuluh) tahun sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 35 tahun 2012 tentang Status Hutan Adat, di bulan Oktober 2022 bertepatan dengan Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jayapura, Provinsi Papua, baru diserahkan 7 (tujuh) Surat Keputusan Penetapan Status Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 40.881,90 hektare kepada masyarakat di Tana Papua. Sedangkan pengakuan Tanah Ulayat atau pendaftaran Tanah Ulayat melalui mekanisme penatausahaan Tanah Ulayat masyarakat hukum adat juga masih belum dimulai oleh Kementerian ATR/BPN.
Dalam konteks SVLK, meskipun sejak bulan November 2016, Indonesia mendapat pengakuan dari Uni Eropa sebagai negara pertama peraih Lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade/ Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Hutan), sehingga produk kehutanan yang diekspor ke benua biru tersebut tidak perlu dilakukan uji tuntas (due diligence), di lapangan implementasi SVLK belum berhasil diterapkan sepenuhnya. Masih banyak kasus para pemegang sertifikat SVLK yang menerima bahan baku yang asalnya bukan berasal dari perizinan yang sah.
Seiring mandat putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 tentang Hutan Adat, perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk mempercepat proses pengakuan hutan adat, memposisikan Masyarakat Hukum Adat (MHA) sebagai pelaku utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat yang lestari, serta menjamin legalitas hasil hutan kayu yang berasal dari areal hutan yang dikelola MHA. Oleh karena itu, Auriga dan JPIK meminta kepada pemerintah (pusat dan daerah), akademisi, LSM, dan para pihak yang terlibat aktif mengawal hutan adat untuk melakukan sinergi langkah-langkah strategis, Dalam konteks ini maka SVLK Hutan Adat dapat menjadi salah satu pintu masuk untuk mempercepat penerapan pemanfaatan hasil hutan kayu oleh MHA di Papua.
Download Policy Paper di sini.