Jakarta, 24 November 2014. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mendesak Pemerintah untuk segera memperbaiki peraturan dan pelaksanaan dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang disepakati pemerintah Indonesia dan Uni Eropa.  Sebuah laporan  “SVLK di Mata Pemantau” yang diluncurkan hari ini memaparkan hasil pemantauan independen yang telah dilakukan oleh JPIK pada kurun waktu 2011-2013.

Pemantauan independen oleh masyarakat sipil atas SVLK merupakan bagian dari perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa melalui Kesepakatan Kemitraan Sukarela dalam Penegakan Hukum, Perdagangan dan Tata Kelola sektor Kehutanan (FLEGT-VPA).

“Kami sangat mendukung rencana pemerintah untuk pelaksanaan penuh SVLK pada 1 Januari 2015 mendatang.  Namun demikian, perbaikan terhadap aturan dan pelaksanaan SVLK sangat diperlukan untuk memastikan kredibilitas sistem ini.“ ujar Zainuri Hasyim, koordinator nasional JPIK.

“Kebijakan SVLK  yang menempatkan pemantauan independen sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem, secara formal mengakui keberadaan pemantau independen.  Ini adalah sebuah terobosan hukum yang cukup progresif dan memberikan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat madani (termasuk LSM) untuk berpartisipasi dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah.” tambahnya.

Hasil pemantauan JPIK terhadap  34 pemegang izin  menunjukkan beberapa kelemahan dalam pelaksanaan SVLK.  Beberapa permasalahan yang mencuat meliputi mekanisme keterlacakan bahan baku, proses perizinan yang bermasalah, pelanggaran terhadap fungsi kawasan, tata batas dan tata ruang, kewajiban lingkungan, persoalan konflik terutama yang terkait dengan tata batas dan tenurial, dan beberapa kelemahan yang terkait dengan verifikasi legalitas kayu yang berasal dari konversi hutan alam.

“Kami menemukan bahwa lembaga penilai dan verifikasi dalam SVLK hanya melihat keberadaan dokumen izin tanpa menelusuri proses keluarnya izin,” sebut Zainuri seraya memaparkan bahwa  kasus korupsi perizinan kehutanan yang terjadi di Provinsi Riau yang melibatkan pemerintah setempat yang telah dijatuhi hukuman.  Namun SVLK terkesan tidak terkait dengan kasus ini, dan tidak ada upaya menyelidiki beberapa perusahaan yang bersertifikat SVLK yang terlibat kasus korupsi perizinan tersebut.  “SVLK seharusnya dapat mencegah keluarnya sertifikat bagi pemegang izin bermasalah dengan cara memasukkan prosedur keluarnya  izin sebagai bagian dari standard legalitas dalam SVLK,” ujarnya.

JPIK juga menyoroti lemahnya penegakan aturan dan penerapan sanksi bagi pemegang izin yang tidak melaksanakan SVLK maupun yang terbukti melakukan pelanggaran.  Kasus illegal logging yang melibatkan PT Rotua beberapa waktu yang lalu mengindikasikan beberapa industri kayu bersertifikat SVLK menerima kayu ilegal dari PT Rotua yang hingga kini tidak juga diselidiki.   “Karena SVLK merupakan sistem jaminan legalitas kayu, maka setiap indikasi atas keterlibatan pemegang izin dengan praktik illegal logging dan perdagangan kayu ilegal harus ditindaklanjuti dan diproses sesuai hukum yang berlaku” ujar Mardi Minangsari, Dinamisator Nasional JPIK.

JPIK juga meminta perbaikan terhadap aspek transparansi data dan informasi kehutanan dalam pelaksanaan SVLK, termasuk juga perbaikan dalam proses pengajuan dan penyelesaian keluhan dari berbagai pihak.  Hingga saat ini kelompok masyarakat sipil masih sulit mengakses informasi publik yang dibutuhkan dalam kegiatan pemantauan.  Pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa itikad baik dari pemerintah untuk memperbaiki tata kelola hutan tidak hanya  berlaku di atas kertas.

“Sistem ini perlu menyentuh persoalan perubahan fungsi kawasan, konflik tenurial terutama terkait hak-hak masyarakat adat, dan persoalan tata batas kawasan hutan karena memiliki implikasi langsung terhadap kerusakan hutan” ujar Direktur Eksekutif FWI, Christian Purba. “Salah satu langkah yang harus segera dilakukan adalah memperkuat kebijakan SVLK dengan mengadopsi kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkini sehingga dapat merespon persoalan-persoalan tersebut.” tambah Christian.

Keluarnya Permenhut dan Perdirjen terbaru mengenai SVLK pada bulan Juni dan Juli 2014 disambut baik JPIK, karena beberapa aspek perbaikan yang disampaikan kelompok masyarakat sipil telah diakomodir.  Namun demikian, perbaikan aturan harus disertai dengan penegakan yang tegas dan konsisten, sehingga SVLK benar-benar dapat menjadi ujung tombak perbaikan tata kelola dalam sektor perkayuan  dan kehutanan di Indonesia.

——

Informasi lebih lanjut, hubungi:

Zainuri Hasyim – Dinamisator Nasional JPIK;  zhasyim@gmail.com atau +62 811-754-409

Mardi Minangsari – Dinamisator Nasional JPIK;  minangsari@gmail.com atau +62 811-111-918

Christian Purba – Direktur Eksekutif FWI; bob@fwi.or.id atau +62 812-1105-172

CATATAN EDITOR:

  • Standar verifikasi legalitas kayu adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier dan pedoman pelaksanaan.  Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) mengacu pada Permenhut No P.38/2009 diperbaharui menjadi P.68/2011, dan P.45/2012, serta P.43/2014 pada 19 Juni 2014.  SVLK dilaksanakan melalui skema sertifikasi wajib yang terdiri atas Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) dan sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL).
  • JPIK adalah Jaringan Pemantau Independen Kehutanan yang telah disepakati dan dideklarasikan pada tanggal 23 September 2010 oleh 29 LSM dan Jaringan LSM dari Aceh sampai Papua.  Pembentukan JPIK sebagai wujud dari komitmen untuk ikut berkontribusi aktif dalam mendorong tata kepemerintahan kehutanan yang baik dengan memastikan kredibilitas dan akuntabilitas dari implementasi SVLK.JPIK hingga bulan Agustus 2014 beranggotakan 64 lembaga dan 318 individu.  JPIK berperan memantau implementasi SVLK, dari proses akreditasi, penilaian/verifikasi terhadap pelaku usaha, hingga proses pelaksanaan ekspor.  Hasil pemantauan JPIK telah ada yang disampaikan baik dalam bentuk masukan untuk lembaga audit maupun berupa keluhan/complaint demi memastikan kredibilitas SVLK.
  • Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan.  FWI ditunjuk sebagai Sekretariat Nasional JPIK melalui pertemuan deklarasi pembentukan JPIK pada tahun 2010.