Jakarta, 10 Juni 2015Sekelompok organisasi lingkungan menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mematuhi UU Keterbukaan Informasi sesuai dengan putusan sidang sengketa informasi publik yang dijatuhkan Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 8 Mei 2015. Dalam sidang tersebut KIP mengabulkan permohonan informasi oleh FWI dan menyatakan bahwa beberapa jenis informasi yang dimohonkan merupakan dokumen terbuka yang harus dapat diakses publik. Alih-alih mematuhi putusan sidang, KLHK menyatakan keberatan atas putusan KIP dan mengajukan banding kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 29 Mei 2015. KLHK secara jelas telah mengabaikan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi dan juga melanggar visi pemerintahan dalam menjalankan transparansi tata kelola pemerintahan sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita.

Keterlibatan masyarakat dalam merumuskan, melaksanakan, sampai dengan mengawasi pelaksanaan sebuah kebijakan publik merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), sebagaimana dimandatkan dalam pasal 3 UU No. 14 tahun 2008. Dalam dokumen permohonan keberatan yang dikirimkan oleh KLHK kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN-Jakarta), argumentasi KLHK lagi-lagi menyebutkan data yang dimohonkan oleh FWI merupakan data rahasia perusahaan, sehingga data tersebut dikecualikan. Data yang dimohonkan berupa data perencanaan kehutanan seperti RKUPHHK, RKTUPHHK, RPBBI dan IPK. Data-data tersebut sangat dibutuhkan untuk memantau kinerja pengusahaan hutan yang saat ini menyebabkan hancurnya sumber daya alam dan banyaknya konflik dengan masyarakat lokal/adat.

Mardi Minangsari, Dinamisator JPIK menyatakan “Ini merupakan langkah mundur dari Pemerintah dalam hal keterbukaan dan transparansi pengelolaan kehutanan. Padahal, Pemerintah sudah meratifikasi perjanjian kerjasama internasional dengan Uni Eropa dalam perdagangan kayu, dan secara spesifik kerjasama tersebut mendukung penuh transparansi dalam aspek pengelolaan hutan (termasuk penyediaan data dan informasi yang saat ini dianggap oleh KLHK adalah rahasia). Selain itu, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang berlaku di Indonesia mengatur keberadaan pemantau independen yang mengawasi pelaksanaan aturan tersebut dan juga menjamin akses informasi publik bagi pemantau. Adalah ironis jika KLHK malah kemudian mengingkari aturan yang dibuatnya sendiri ”.

Meskipun KLHK memiliki hak untuk melakukan banding, namun langkah tersebut sangat disayangkan karena sudah ada preseden berupa Putusan Komisi Informasi yang berkekuatan hukum tetap (No. 030/I/KIP-PS-A-M-A/2014). Langkah tersebut justru dapat dipandang publik bahwa KLHK anti terhadap keterbukaan informasi. “Saya yakin Menteri LHK akan lebih bijaksana dan menarik banding tersebut jika mendapatkan informasi yang lengkap dan obyektif. Menteri LHK juga diharapkan memimpin secara langsung kebijakan keterbukaan informasi di tubuh KLHK karena terkait dengan kepentingan banyak pihak. Terlebih lagi, KLHK juga menjadi barometer bagi pelaksanaan keterbukaan informasi lingkungan hidup dan kehutanan di daerah.” Demikian yang diungkapkan oleh Henri Subagiyo Direktur ICEL.

Teguh Surya, Juru Kampanye Politik Hutan Greenpeace menyatakan, ini sudah kedua kalinya tahun ini KLHK menolak permohonan informasi terkait pengelolaan kehutanan, pertama permohonan SHP file dan kedua permohonan data perencanaan hutan. Alasan yang dikedepankan juga selalu berkutat dengan rahasia perusahaan (Argumentasi yang dinyatakan berulang kali oleh KLHK yang terekam dalam dokumentasi FWI dalam sidang lanjutan sengketa informasi antara FWI dan KLHK). “KLHK harus berdiri diatas kepentingan publik dan bukan pada kepentingan segelintir pengusaha. Langkah yang diambil KLHK ini sangat bertolak belakang dengan semangat Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam yang baru saja di tandatangani oleh 27 Kementrian dan Lembaga. Ketertutupan yang semakin digencarkan oleh KLHK malah akan membuka potensi korupsi yang semakin besar”.

Keberatan KLHK atas putusan Komisi Informasi merupakan salah satu bukti masih buruknya tata kelola pemerintahan Indonesia. Secara nyata, KLHK mengunci akses data dan informasi yang berimplikasi terhadap tertutupnya ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan perencanaan dan pengelolaan hutan. Kejadian ini menunjukan betapa kuatnya keberpihakan KLHK kepada perusahaan, ketimbang melindungi kepentingan masyarakat luas. “Kami mendesak Menteri KLHK untuk segera membuktikan aktualisasi Nawa Cita (khususnya pada aspek transparansi) pada praktek penyelenggaraan kehutanan. KLHK harus mencabut permohonan keberatan kepada PTUN Jakarta dan segera menyediakan informasi yang dimohonkan sesuai dengan amar putusan Komisi Informasi Pusat. Apabila ini gagal dilakukan, maka KLHK membuktikan bahwa Revolusi Mental yang digagas pemerintahan ini hanya sekedar jargon.” tegas Linda Rosalina, Pengkampanye FWI.

 

Catatan Editor :

  • Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standard, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian.
  • Perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Uni Eropa dalam Penegakan Hukum, Tata kelola dan Perdagangan bidang Kehutanan telah diratifikasi melalui Peraturan Presiden No.21 tahun 2014.
  • RKUPHHK (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) adalah rencana kerja untuk seluruh areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahunan, antara lain memuat aspek kelestarian hutan, kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat. (Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.56/Menhut-II/2009 jo. P. 24/Menhut-II/2011Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.62/Menhut-II/2008 jo. P.14/Menhut-II/2009).
  • Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKTUPHHK) adalah rencana kerja dengan jangka waktu 1 (satu) yang disusun berdasarkan RKUPHHK. (Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.56/Menhut-II/2009 jo. P. 24/Menhut-II/2011Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.62/Menhut-II/2008 jo. P.14/Menhut-II/2009).
  • Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu (RPBBI) adalah rencana yang memuat kebutuhan bahan baku dan pasokan bahan baku yang berasal dari sumber yang sah serta pemanfaatan/penggunaan bahan baku dan produksi sesuai kapasitas izin industri primer hasil hutan dan ketersediaan jaminan pasokan bahan baku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang merupakan sistem pengendalian pasokan bahan baku. (Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.9/Menhut-II/2012)
  • Izin Pemanfaatan Kayu yang selanjutnya disebut IPK adalah izin untuk menebang kayu dan/atau memungut hasil hutan bukan kayu sebagai akibat dari adanya kegiatan izin non kehutanan antara lain dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan dengan izin pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan. (Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.62/Menhut-II/2014)
  • Terkait isu transparansi atas data dan informasi, Nawacita secara tegas disebutkan pada hal 17.
 Kontak Media:

Linda Rosalina, Pengkampanye FWI
Email: linda@fwi.or.id; Telepon: +62 8889044794

Mardi Minangsari, Dinamisator JPIK
Email: minangsari@gmail.com; Telepon: +62 811111918

Henri Subagiyo, Direktur ICEL
Email: henrisubagiyo@gmail.com; Telepon: +62 81585741001

Tegus Surya, Juru Kampanye Politik Hutan Greenpeace
Email: tsurya@greenpeace.org; Telepon +62 819 15191979