FWI&JPIK

Siaran Pers

Bogor, 11 Desember 2012. Pemantauan yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di empat lokasi, masih menemukan titik kelemahan dari proses penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP & VI). Penilaian terhadap kinerja unit manajemen hutan oleh LP & VI harus memiliki independensi dan dilakukan secara komperhensif sesuai dengan fakta di lapangan sehingga dapat mendorong perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia.

Pertemuan multi pihak yang diselenggarakan oleh FWI dan JPIK pada 11 Desember 2012 dan dihadiri oleh Organisasi Masyarakat Sipil, Lembaga Sertifikasi, serta dari Kementerian Kehutanan, memaparkan temuan-temuan dari kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan SVLK. Pemantauan difokuskan pada 3 (tiga) unit menajemen Hutan dan satu industri kayu yang berlokasi di provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Papua Barat dan Jawa Timur.

“Walaupun sudah mendapatkan predikat lulus, tetapi hasil pemantauan pasca sertifikasi, kami masih menemukan adanya persoalan-persoalan yang belum terselesaikan”, ujar Alfiberton Nababan, Forest Watch Indonesia, Sekretariat JPIK. “Perijinan usaha unit manajemen yang tidak aktif, konflik sosial dan tenurial dengan masyarakat, serta masih terjadi aktifitas penebangan yang merusak, merupakan fakta-fakta di lapangan yang kami temukan”, lanjut Alfiberton.

Alfiberton juga menegaskan bahwa, “Keberterimaan terhadap pemantau independen masih diragukan, dan ini dapat dilihat ketika pencarian data dan informasi yang sering ditolak oleh Dinas Kehutanan di daerah”. “Walaupun di satu sisi kita sudah memiliki undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik”, ujarnya.

“Tentunya kami berharap penilaian yang dilakukan LP & VI harus memiliki independensi”, papar Pietsau Amafnini dari Yayasan Jasoil, Focal Point JPIK Papua Barat. “Sangat aneh bila sebuah unit manajemen hutan mendapatkan sertifikat PHPL, tetapi perusahaan tesebut tidak aktif beroperasi beberapa tahun terakhir ini” tambah Pietsau Amafnini. Persoalan konflik sosial, kerusakan ekosistem hutan, ditemukan juga oleh Focal Point JPIK di Kalimantan Timur dan Jawa Timur dari hasil pemantauan mereka.

SVLK telah dikembangkan sejak tahun 2003 melalui proses multi pihak. Sistem ini berlaku wajib untuk semua produk kayu dan kayu dari hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat ataupun kemasyarakatan. SVLK dikembangkan dengan tujuan untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu dapat diverifikasi guna menjamin produk kayu yang dihasilkan hanya dari sumber yang legal ataupun sumber yang lestari.

“Peran LP & VI dalam mengimplementasi SVLK merupakan faktor penting, ketidakberpihakan dan ketelitian LP & VI dalam melakukan penilaian menjadi kuncinya. Seluruh pihak baik Pemerintah, KAN, LP & VI, Pemantau Independen harus bahu membahu untuk menjaga kredibilitas implementasi SVLK,” tegas Abu Meridian, Dinamisator Nasional JPIK.

Lebih lanjut Abu Meridian mengatakan bahwa, “Pertemuan multipihak seperti ini menurut kami perlu terus dilakukan”. Karena dengan ini proses keterbukaan untuk menerima masukan dan kritikan dari para pihak, bisa terjadi. “Tentunya kami berharap kesepakatan-kesepakatan yang telah dirumuskan pada pertemuan tersebut, harus dikawal dan ditindaklanjuti, untuk menjaga agar implementasi SLVK berjalan dengan baik”.

Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Abu Meridian, Dinamisator Nasional JPIK
Telepon : +62 857 157 667 32
E-mail : abu.meridian@gmail.com

Alfiberton Nababan, Sekretariat Nasional JPIK, Forest Watch Indonesia
Telepon : +62 811 923 095
E-mail : afton@fwi.or.id

Pietsau Amafnini, Focal Point JPIK Papua Barat, Yayasan Jasoil Manokwari
Telepon : +62 813 444 350 08
E-mail : menawi2001@yahoo.com

CATATAN UNTUK EDITOR

  • Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standard, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian.
  • Sistem Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari adalah serangkaian proses penilaian kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang izin pengusahaan kayu yang memuat standard, kriteria, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian.
  • JPIK adalah Jaringan Pemantau Independen Kehutanan yang telah disepakati dan dideklarasikan pada tanggal 23 September 2010 oleh 29 LSM dan Jaringan LSM dari Aceh sampai Papua. Pembentukan JPIK sebagai wujud dari komitmen untuk ikut berkontribusi aktif dalam mendorong tata kepemerintahan kehutanan yang baik dengan memastikan kredibilitas dan akuntabilitas dari implementasi sistem Pernilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PK-PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). JPIK hingga akhir bulan Oktober 2012 beranggotakan 41 lembaga dan 259 individu. JPIK berperan memantau implementasi SVLK, dari proses akreditasi, penilaian/verifikasi terhadap pelaku usaha, hingga proses pelaksanaan ekspor.
  • Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu dan organisasi-organisasi yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Organisasi ini berbasis di Bogor. Informasi lebih jauh mengenai organisasi ini dapat dijumpai pada website www.fwi.or.id