Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) telah diberlakukan secara wajib sejak Tahun 2009 di Indonesia, bertujuan untuk perbaikan tata kelola disektor kehutanan dan perdagangannya. Dengan adanya peraturan ini, diharapkan pembalakan liar maupun perdagangan kayu ilegal dapat dihentikan. Pada Bulan Desember 2018 sampai Bulan Februari 2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyita lebih dari 400 kontainer yang berisi kayu olahan di Surabaya dan Makassar. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) masih terus mengawal kasus-kasus tersebut dan berharap kasus ini menjadi pembelajaran untuk Pemerintah Indonesia dan pihak-pihak terkait, agar kasus yang sama tidak terulang di masa mendatang. Kami sangat mengapresiasi penegakan hukum yang dilakukan oleh KLHK, ini adalah salah satu bukti bahwa sistem berjalan. Namun demikian, para pihak harus terus-menerus melakukan perbaikan dan berupaya dengan keras untuk menutup celah dan peluang pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, yang hanya mencari keuntungan semata dengan berlaku curang dalam praktek penatausahaan hasil hutan di Indonesia.
Pada periode tahun yang sama, ancaman terhadap pelemahan SVLK kembali terulang dan terus dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan hutan terjaga secara lestari dan berkelanjutan. Dalam beberapa bulan terakhir beredar luas informasi di media bahwa SVLK dianggap sebagai salah satu penghambat ekspor, dan beranggapan ekspor produk kayu menurun karena SVLK. Faktanya justru dengan keberadaan SVLK, ekspor produk kayu dan turunannya meningkat. Para pihak sebagai bagian dari entitas yang terlibat dalam membangun SVLK berkomitmen menghadapi ancaman pelemahan yang terjadi, para pihak sepakat meningkatkan koordinasi dan komunikasi untuk berbagi informasi dan peran dalam rangka memperkuat SVLK.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan JPIK, keberadaan industri lanjutan harus menjadi perhatian seluruh pihak, dimana kasus-kasus kejahatan kehutanan yang telah diamankan oleh Direktorat Jendral Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen Gakkum KLHK) sepanjang tahun 2018-2019 yang terbesar berupa kayu olahan. Permasalahan dalam pemenuhan pasokan bahan baku industri pengolahan kayu lanjutan yang belum seluruhnya tertib di lapangan, diindikasikan dengan masih maraknya pemalsuan dokumen Lembar Mutasi Kayu (LMK), dokumen Sertifikat Legalitas Kayu (SLK), pemalsuan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan praktek pelanggaran lainnya.
Sebagai upaya untuk peningkatan ekonomi masyarakat, sekaligus untuk memasok kebutuhan kayu ke industri dan mengurangi laju deforestasi hutan, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 39 Tahun 2017 tentang Izin Pemanfaatan Hutan di Wilayah Kerja Perhutani, dimana petani sekitar hutan sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan diberikan akses legal selama 35 tahun untuk memanfaatkan hutan secara lestari dan berkelanjutan.
Sementara itu, ada kabar bahwa Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Aceh berdasarkan hasil pemantauan dari pemantau independen belum mampu menjawab persoalan illegal logging dan perambahan kawasan hutan. Hal ini patut menjadi perhatian semua pihak betapa beratnya pemberantasan illegal logging tanpa pelibatan seluruh pihak yang terkait.
Di bagian akhir Newsletter ini mengulas Esklusi Atas Nama Konservasi : Pembelajaran Kasus dari Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), dimana poin besarnya mengkritik atas nama tujuan-tujuan konservasi dan lingkungan, pada praktiknya justru menjadi ‘topeng’ dan legitimasi untuk penyingkiran dan marginalisasi rakyat atas tanah dan ruang hidupnya atau biasa disebut dengan “Green Grabbing”.
Download Newsletter “The Monitor” ke-13:
Bahasa Indonesia