Jakarta, 28 Februari 2018. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mendorong pemerintah untuk terus memperbaiki peraturan dan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Hari ini JPIK mengeluarkan laporan kedua ‘SVLK: Proses  Menuju Tata Kelola Bertanggung Gugat’ yang berisi kajian terhadap pelaksanaan SVLK pada periode tahun 2014-2017, dalam lingkup peraturan, pemantauan independen, dukungan dan kinerja parapihak atas pelaksanaan SVLK.

Pada kurun waktu 2014 hingga 2017, JPIK masih menemukan beberapa kelemahan dalam pelaksanaan SVLK, terutama pada aspek pengawasan dan penegakan hukum. Selain itu, pemantauan independen oleh masyarakat sipil masih harus terus menerus digalakan, melalui jaminan keberlangsungan pemantauan dan ketersediaan data dan informasi. Hal ini sebagaimana tertuang dalam peraturan SVLK dan perjanjian kerjasama sukarela Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa melalui kesepakatan FLEGT-VPA.

 

Muhamad Kosar, Dinamisator Nasional JPIK menyatakan, “Perkembangan, pencapaian dan penerapan SVLK sebagai salah satu upaya dalam mereformasi tata kelola hutan patut diapresiasi. Meskipun belum sempurna, tetapi sistem ini telah memaksa berbagai pihak untuk melakukan perbaikan.”

Hasil pemantauan JPIK terhadap 54 pemegang izin yang memiliki sertifikat SVLK masih menemukan IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT, yang memiliki persoalan terkait konflik tata batas dan rendahnya pengakuan hak-hak dasar masyarakat hukum adat dan masyarakat setempat, serta lemahnya upaya perlindungan hutan. Sedangkan pemilik izin industri, masih ditemukan adanya masalah tentang kepemilikan dan kesesuaian izin, implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta ketidakjelasan sumber pemenuhan bahan baku bagi industri.

“Penilaian/audit oleh Lembaga Sertifikasi masih menjadikan keberadaan dokumen sebagai acuan pemegang izin dalam mendapatkan sertifikat SVLK. Proses keluarnya izin yang sarat korupsi, masuknya kayu ilegal kedalam rantai pasok, dan upaya penyelesaian konflik yang tidak komperehensif harusnya menjadi fokus utama dalam melakukan penilaian” ujar Kosar.

Dhio Teguh Ferdyan, Juru Kampanye JPIK menuturkan, “penilaian SVLK harus menunjukkan tren perubahan kinerja yang membaik. Hasil penilaian yang berpredikat sedang atau buruk seharusnya berubah menjadi baik pada periode penilikan atau re-sertifikasi. Pemegang izin IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT yang sebelumnya memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) harusnya sejalan dengan melakukan upaya peningkatan dengan diperolehnya Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL).”

Perbaikan transparansi dalam pelaksanaan SVLK juga harus ditingkatkan, dimana seluruh proses pelaksanaan SVLK termasuk penyediaan data dan informasi untuk pemantauan, proses penanganan laporan, serta penindakannya harus terbuka dan dapat diakses publik.

“Meskipun telah diatur tentang hak dan kewajiban pemantauan independen dalam peraturan SVLK, Pemantau Independen masih mengalami keterbatasan dalam mengakses data dan informasi untuk kepentingan pemantauan, terutama data dan informasi yang berada dibawah kewenangan Pemerintah Daerah” pungkas Dhio.

JPIK menyoroti lemahnya penegakan hukum dan penerapan sanksi bagi pemiliki izin yang melanggar akan mencederai SVLK. Sanksi tegas pencabutan sertifikat bagi pemegang izin yang memiliki kinerja buruk dan menolak penilikan harus ditindaklanjuti dengan pencabutan izin usaha. Disisi lain, upaya peningkatan penatausahaan kayu untuk meminimalisir bercampurnya kayu ilegal kedalam rantai suplai SVLK dan koordinasi antar lembaga ditingkat pusat dan daerah harus diperkuat.

Sebagai sebuah sistem, SVLK harus menempatkan aspek sosial/konflik, proses perolehan izin (korupsi perizinan), dan kebakaran hutan sebagai indikator utama lulusnya penilaian. Selain itu, sinergisitas upaya pencegahan dan penegakan hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus terus dilakukan agar SVLK benar-benar menjadi perwujudan instrumen pembenahan tata kelola (good governance) yang kredibel dan akuntabel.

Laporan buku JPIK dapat diunduh pada link berikut:

Bahasa Indonesia

English