Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) telah berlaku sekitar 10 tahun di Indonesia, yaitu sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009. Selama 10 tahun diterapkan, telah terjadi banyak penyempurnaan dari standar penilaian yang digunakan untuk menilai atau memverifikasi unit usaha yang ingin mendapatkan sertifikasi dalam skema SVLK, yaitu sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) atau Verifikasi Legalitas Kayu (VLK).

SVLK terus berbenah untuk terus meningkatkan keandalan dan kredibilitas, dimana semua pemangku kepentingan yang menjadi bagian dari sistem ini berperan sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam peningkatan berkelanjutan tersebut. Pemangku kepentingan dari sistem ini bisa diidentifikasi, antara lain :

  1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pemilik skema sekaligus pemangku kebijakan,
  2. Pemangku kebijakan lainnya (Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Dinas-dinas terkait baik yang berada di Provinsi maupun Kabupaten/Kota),
  3. Pelaku usaha,
  4. Lembaga sertifikasi (LP-PHPL dan LVLK),
  5. Pemantau Independen, dan
  6. Komite Akreditasi Nasional (KAN)

Mengulas lebih dalam tentang peran pentingnya standar penilaian/verifikasi dalam SVLK yang termuat dalam Perdirjen P.14/PHPL/SET/4/2016 yang dipakai sebagai acuan oleh pelaku usaha untuk memenuhi persyaratan SVLK dan sebagai kriteria audit bagi LP-PHPL dan LVLK dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga sertifikasi di skema SVLK ini.

Standar terkini yang masih digunakan untuk penilaian dalam sertifikasi PHPL atau VLK adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.30/Menlhk/Setjen/PHPL.3/3/2016 dan Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor P.14/PHPL/SET/4/2016.

Jika ditelaah dengan teliti, Peraturan Menteri (Permen) dan Peraturan Direktorat Jenderal (Perdirjen) tersebut telah berlaku kurang lebih 3 tahun, dimana dalam jangka waktu tersebut ada beberapa masukan, termasuk juga perubahan dari beberapa peraturan perundangan yang berimplikasi terhadap beberapa persyaratan (verifier) yang ada pada Perdirjen No. P.14/PHPL/SET/4/2016 tersebut. Untuk itu perlu adanya suatu revisi dari standar yang dipakai sebagai dasar penilaian (kriteria audit) yaitu Permen LHK No. P.30/Menlhk/Setjen/PHPL.3/3/2016 dan Perdirjen No. P.14/PHPL/SET/4/2016. Revisi tersebut selain untuk mengakomodir perubahan peraturan perundangan yang terkait, juga diperlukan untuk lebih meningkatkan kredibilitas SVLK di mata konsumen. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa pihak telah membuat kajian dan mengkritisi SVLK, serta mulai mempertanyakan keandalan sistem ini untuk bisa mengurangi atau bahkan mengeliminasi terjadinya perdagangan kayu yang tidak legal.

Beberapa poin yang perlu mendapatkan perhatian dan dipertimbangkan sebagai masukan untuk peningkatan standar adalah sebagai berikut :

  1. Perlunya penyesuaian standar SVLK dengan peraturan perundang-undangan yang terkait, baik yang dikeluarkan oleh KLHK sendiri maupun peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan penilaian/verifikasi.
  2. Perlu dipertimbangkan untuk meninjau kembali struktur standar dengan mempertimbangkan dibuatnya persyaratan yang lebih generic sehingga lebih adaptif dengan perkembangan dan perubahan peraturan perundang-undanganan yang terkait lainnya. Sebagai contoh, perlu dipertimbangkan untuk tidak spesifik menyebut persyaratan legalitas usaha (HO, SIUP, dll.), tetapi lebih menggunakan pernyataan yang lebih umum, misalnya ‘legalitas berusaha’. Persyaratan yang lebih generic juga akan memberikan ruang yang cukup bagi auditor untuk membuat penyesuaian terhadap persyaratan standar yang berlaku sesuai dengan kondisi dari auditee yang diaudit.
  3. Perlu dipertimbangkan untuk penyederhanaan dan penyesuaian standar untuk sertifikasi VLK Industri terkait jenis izin dan ukuran industri. Peraturan terkait ukuran/kapasitas/besarnya investasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian perlu dipertimbangkan untuk merevisi standar tersebut.
  4. Perlu dipertimbangkan untuk mengkaji kembali pemberlakuan dan persyaratan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP).  Sepengetahuan penulisDKP dimasukkan dalam SVLK didasarkan atas argumentasi diperkenankannya self declare oleh pemasok mengacu kepada standar ISO 17050:2004 tentang Conformity Assessment. DKP ini berlaku kepada kayu yang berasal dari hutan hak yang dibudidayakan dan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) yang 100% bahan baku yang diolah berasal dari hutan hak yang dibudidayakan. Filosofi dari self declare atau Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP) adalah pemasok yang mendeklarasikan diri bahwa produk yang dijual telah memenuhi persyaratan yang sesuai berdasarkan standar yang berlaku dalam SVLK, sehingga produk yang dijual setara dengan produk-produk yang tersertifikasi dalam skema SVLK. Mengingat hal tersebut, penulis berpendapat perlu kiranya dipertimbangkan untuk dikaji kembali persyaratan dan format deklarasi tersebut.
  5. Untuk menjamin kompetensi auditor yang melaksanakan kegiatan audit, SVLK telah memiliki aturan yang mempersyaratkan setiap auditor harus lulus uji kompetensi yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Personal (LSP). Sistem ini sangat bagus dan patut untuk dipertahankan. Untuk memastikan bahwa sistem ini bisa berjalan dengan efektif dan kredibel, perlu kiranya LSP yang melaksanakan proses sertifikasi personal auditor untuk selalu memperbaharui standar penilaian yang digunakan, khususnya untuk mengikuti perubahan-perubahan dari persyaratan sertifikasi, baik yang dikeluarkan oleh institusi KLHK, ISO maupun KAN.

Masukan tersebut diharapkan mampu menjadi penguatan standar SVLK, dan menjadi sebuah sistem yang berkelanjutan demi mewujudkan tata kelola hutan yang baik.

Download tulisan lengkap pada newsletter edisi 13 “The Monitor”