Bogor, 12 Februari 2019. 60 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menilai terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 106 tahun 2018 akan berdampak meningkatnya laju kehilangan hutan alam di Indonesia. Peraturan ini telah membebaskan status perlindungan terhadap spesies kayu endemik yang sebelumnya dilindungi sehingga bebas untuk dimanfaatkan dan diperdagangkan.

PermenLHK No 106 tahun 2018 sebagai perubahan kedua dari PermenLHK No 20 tahun 2018 telah mengubah status 10 spesies kayu dari lampiran daftar kayu yang dilindungi. Sebagian besar diantaranya termasuk dalam katetegori langka dan terancam punah. Spesies kayu tersebut antara lain; kayu Besi/Merbau Maluku (Intsia palembanica), Ulin (Eusideroxylon zwagery), Damar Pilau (Agathis bornensis), Palahlar Mursala (Dipterocarpus cinereus), Palahlar Nusakambangan (Dipterocarpus littolaris), Kokoleceran (Vatica bantamensis), Upan (Upuna bornensis), Medang lahu (Beilschmiedia madang), Kempas Malaka (Koompasia malaccensis), Kempas Kayu Raja (Koompasia exselsa). Spesies-spesies ini tumbuh secara alami di hutan alam dengan populasi semakin menipis.

Salah satu yang menjadi pertimbangan dalam perubahan aturan ini adalah banyaknya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang menebang spesies kayu dilindungi terkendala dalam proses penataan hasil hutan. Hal lain adalah timbulnya permasalahan hukum ketika IUPHHK-HA menebang kayu dengan status dilindungi di areal kerja konsesinya sehingga pasokan bahan baku di sektor hilir terkendala.

Dhio Teguh Ferdyan, pengkampanye JPIK mengatakan kelonggaran yang diberikan pemerintah kepada pemilik izin IUPHHK-HA justru bertolak belakang dengan semangat perlindungan keanekaragaman hayati dan penegakan hukum dari peraturan sebelumnya. Apalagi 8 dari 10 jenis kayu ini berdasarkan IUCN red list dikategorikan sebagai spesies yang kritis, genting, dan rentan, bahkan 5 diantaranya merupakan spesies endemik.

“Dengan mempertimbangkan rendahnya populasi dan tingginya tingkat keterancaman, seharusnya KLHK tetap menjadikan spesies tersebut dalam kategori dilindungi, bukan malah membuka peluang dan memberikan kebebasan pemanfaatan kayu terancam punah”, tegas Dhio.

Menelisik ulin sebagai salah satu spesies kayu yang statusnya berubah menjadi tidak dilindungi, merupakan kayu yang dianggap sakral oleh masyarakat adat Dayak. Keterkaitan ulin dengan masyarakat adat Dayak tidak hanya sebagai pemenuhan kebutuhan kayu untuk rumah panjang dan patung sebagai simbol, lebih dari itu ulin memiliki kaitan erat dengan kebudayaan masyarakat adat Dayak. “Bagi mereka kehilangan ulin berarti hilangnya jati diri dan kebudayaan, karena bagi masyarakat adat pohon ulin bukan bernilai dari banyaknya kubikasi, tapi daun, batang, dan buah mengandung arti yang tidak terpisahkan bagi masyarakat adat Dayak”, ujar Ahmad SJA Direktur PADI Indonesia.

Pemberlakuan PermenLHK No 106 tahun 2018 dikhawatirkan membuka ruang bagi para pemburu kayu-kayu eksotis bernilai ekonomi tinggi untuk memperdagangkannya secara masif, pada akhirnya menjadi tanda-tanda kehancuran keanekaragaman hayati.

Dokumen siaran pers dapat diunduh pada link berikut:
Bahasa Indonesia