Pada tahun 2003, Indonesia mulai mengembangkan sistem kontrol berbasis operator untuk semua ekspor kayu, membangun sertifikasi wajib oleh pihak ketiga untuk legalitas dan keberlanjutan. Sistem tersebut adalah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang menjadi dasar untuk Sistem Jaminan Legalitas Kayu atau Timber Legality Assurance System (TLAS) berdasarkan Perjanjian Kerjasama Sukarela atau Voluntary Partnership Agreement (VPA) antara Indonesia dengan Uni Eropa.

Indonesia telah melangkah lebih jauh dari sekadar verifikasi legalitas di bawah sistem jaminan legalitas kayu SVLK dan lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) and Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA). Diluncurkan pada tahun 2009, standar Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) – telah berperan dalam pencapaian Indonesia. PHPL mencakup semua aspek terkait legalitas kayu di bawah SVLK, dibutuhkan upaya lebih terkait dengan aspek sosial dan lingkungan. Pada tahun 2003, sistem ini bersifat wajib untuk perkebunan kayu industri, konsesi kayu komersial, hutan masyarakat yang dimiliki oleh negara, dan hutan masyarakat. PHPL merupakan elemen penting dari SVLK dan FLEGT VPA. Semua entitas komersial yang beroperasi pada hutan produksi di atas tanah milik negara, pada titik tertentu, harus diaudit menggunakan sistem tersebut.

Laporan ini disusun oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), yang mengeksplorasi kredensial lingkungan, kinerja, dan tambahan dari PHPL. Secara khusus, JPIK menilai sejauh mana PHPL dapat berkontribusi terhadap keberlanjutan sumber daya kayu di Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan dua provinsi yang menjadi sampel (Kalimantan Tengah dan Timur) antara tahun 2015 dan 2017, dengan membandingkan kondisi hutan pada konsesi yang bersertifikat PHPL dan konsesi yang bersertifikasi legal dengan konsesi yang tidak bersertifikat.

Temuan Utama

  • JPIK menemukan bahwa secara keseluruhan konsesi yang bersertifikat PHPL menunjukkan kualitas lingkungan yang lebih baik dibandingkan dengan konsesi yang bersertifikat legal dan yang tidak bersertifikat. Konsesi dengan sertifikat PHPL memiliki tingkat deforestasi paling rendah, yang kemudian diikuti oleh konsesi bersertifikat legal, dan terakhir konsesi yang tidak bersertifikat. Namun, PHPL dan konsesi tebang pilih lainnya menghadapi kendala yang signifikan dalam menyadari potensi keberlanjutan mereka. Hal ini karena tumpang tindihnya izin penggunaan lahan yang mengancam integritas konsesi dan mencegah implementasi perencanaan pengelolaan hutan berjangka panjang.
  • PHPL dan definisi legalitas di bawah SVLK memiliki standar untuk hutan yang berbeda atau tipe izin dan bergantung pada audit tahunan yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi independen yang terakreditasi, Lembaga Sertifikasi (LS) atau Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK). Metode evaluasi yang digunakan dalam SVLK tidak sepenuhnya mencerminkan realitas yang ada di lapangan juga akan dibahas di dalam laporan ini. Hal tersebut yaitu, diabaikannya faktor-faktor yang dianggap sebagai di luar kontrol konsesi, seperti tumpang tindihnya izin penggunaan lahan.
  • Dalam laporan ini dimuat rekomendasi yaitu kriteria dan indikator evaluasi konsesi di bawah standar PHPL yang perlu direvisi untuk memastikan bahwa semua faktor yang mempengaruhi hutan produksi di atas tanah negara juga ikut dipertimbangkan ketika melakukan penilaian atau pemantauan. Secara khusus, kebakaran hutan dan tumpang tindih izin penggunaan lahan untuk pertambangan batu bara dan perkebunan sawit perlu ditangani secara komprehensif. Dengan demikian, PHPL dapat mencapai potensi keberlanjutannya.

Temuan detail yang dimuat dalam laporan ini antara lain:

  • Deforestasi

Ketiga tipe konsesi hutan berdampak pada deforestasi. Konsesi yang bersertifikat PHPL memiliki tingkat deforestasi paling rendah, diikuti oleh konsesi bersertifikat legal dan kemudian konsesi yang tidak bersertifikat. Di Kalimantan Tengah dan Timur, deforestasi pada batas wilayah konsesi umumnya terjadi karena kegiatan oleh pemilik izin komersial lainnya, terutama pemilik izin pinjam pakai Kawasan hutan (IPPKH) untuk pertambangan dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) untuk pembukaan lahan dan kelapa sawit. Sekitar 30% dari area teritori konsesi tumpang tindih dengan izin untuk tambang dan sawit. Deforestasi karena operasi ini tidak menjadi bagian dari praktik pengelolaan hutan jangka panjang.

  • Degradasi

Degradasi hutan terjadi pada tiga tipe konsesi dengan yang tertinggi terjadi pada konsesi yang bersertifikasi PHPL. Degradasi hutan dalam studi ini menunjukkan perubahan dari hutan primer menjadi sekunder, yang merupakan perubahan natural yang berhubungan dengan tebang pilih. Hal ini tidak kemudian sepenuhnya negatif, jika kontrol terhadap area konsesi dan praktik pengelolaan hutan kemudian memungkinkan terjadinya pemulihan kondisi hutan.

  • Kebakaran hutan

Kebakaran hutan ditemukan disemua jenis konsesi. Selama jangka waktu analisis ini, kebanyakan kebakaran terjadi pada tahun 2015, dengan lebih sedikit kejadian kebakaran di tahun 2016-2017. Sekitar setengah dari semua kebakaran hutan terjadi di area yang telah terdeforestasi yang disebabkan kegiatan pertambangan dan sawit. Kebakaran hutan dengan jumlah cukup signifikan tetap saja terjadi karena lemahnya pemantauan dan buruknya pencegahan serta pengelolaan oleh konsesi itu sendiri.

  • Potensi keberlanjutan

Semua tipe konsesi memiliki potensi untuk performa lingkungan yang lebih baik jika izin penggunaan lahan lainnya (pertambangan dan sawit) tidak diizinkan untuk diperluas melebihi jumlah tertentu yang signifikan dalam area konsesi. Dengan melakukan hal tersebut, sejumlah besar area konsesi hutan tidak termasuk dalam praktik pengelolaan hutan jangka panjang. Semua konsesi tebang pilih dikaji, tetapi terutama area yang bersertifikat legal dan PHPL, memiliki potensi keberlanjutan yang signifikan yang akan tetap tidak disadari potensinya karena kebijakan pemerintah yang kontra produktif dari sektor lainnya.

  • Audit LVLK

Meskipun terdapat isu tumpang tindih izin lahan, sehubungan dengan deforestasi dan kebakaran hutan, semua konsesi PHPL yang diaudit oleh LVLK pada periode 2015-2017 menunjukkan skor yang baik pada kategori lingkungan. Kebijakan pemerintah yang berdampak pada integritas teritori konsesi dan koherensi lingkungan dianggap sebagai hal yang tidak dapat dikendalikan oleh konsesi, dan dengan demikian tidak dipertimbangkan dalam audit LVLK. Serupa dengan hal tersebut, LVLK menilai kebijakan penggunaan lahan atau rencana pengelolaan hutan yang telah disetujui oleh pemerintah dianggap sebagai hal yang sudah serta merta dan tidak dipertanyakan pada saat penilaian. Maka dari itu, rekomendasi yang dimuat dalam studi ini salah satunya adalah untuk mengkaji kembali pendekatan audit karena kebijakan pemerintah, terutama yang berlaku untuk izin hutan, membentuk kondisi lingkungan di konsesi. Selain itu, dalam studi ini juga dimuat lebih jauh mengenai saran untuk adanya pengukur atau indikator kritis yang berlaku untuk kepastian legalitas dari sebuah konsesi; persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa); dan perlindungan dan keamanan hutan yang juga harus ditinjau.

Download Ringkasan Eksekutif