KOMPAS – Dokumen verifikasi legalitas kayu palsu meloloskan ratusan kontainer berisi kayu merbau ilegal bernilai miliaran rupiah dari Papua dan Papau Barat. Sepuluh perusahaan diduga terlibat dan masih didalami polisi.
Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Yan Pugu ditemui di Jayapura, Kamis (17/1/2019), menuturkan, dokumen verifikasi legalitas kayu seperti Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dipalsukan untuk menghindari pemeriksaan Dinas Kehutanan dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP).
“Sangat sulit melihat perbedaan antara dokumen asli dan palsu. Oknum perusahaan langsung membuat dokumen itu setelah memasukkan kayu ke dalam kontainer,” kata Yan.
Sepanjang Desember 2018 hingga Januari 2019, Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dibantu TNI Angkatan Laut menggagalkan pengiriman kayu merbau ilegal dari Papua dan Papua Barat. Total disita 384 kontainer dalam empat kali pengiriman dengan nilai total sekitar Rp 120 miliar atau setara lebih dari 7.000 meter kubik.
Sebelumnya, Dinas Kehutanan Papua menggagalkan pengiriman 69 kontainer kayu merbau asal Jayapura dan Nabire, 14 Agustus 2018. Lima perusahaan memiliki kayu senilai Rp 12,15 miliar itu.
Kelima perusahaan yang hendak mengirim kayu merbau melalui Pelabuhan Jayapura itu adalah PT Mutiara Lestari Papua, CV Mandiri Perkasa, CV Wamistar, CV Puspayoga, dan PT Intico Pratama. “Saat ini kami sedang melengkapi berkas perkara kasus ini,” tutur Yan.
Terkait kasus dua bulan terakhir dengan bukti 384 kontainer, Koordinator Tim Sumber Daya Alam Direktorat Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Patria menegaskan, pihaknya akan meminta klarifikasi dari Ditjen Gakkum KLHK terkait temuan 10 perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Papua yang diduga bermasalah.
Sejumlah temuan itu adalah kapasitas izin berbeda dengan fisik lapangan sehingga digunakan untuk menampung kayu ilegal, tak punya izin lingkungan, perusahaan yang IUPHHK-nya tidak aktif tetapi produksi kayu berjalan, dan perusahaan pemegang IUPHHK menerima kayu dari masyarakat tanpa dilengkapi dokumen sahnya hasil hutan.
“Bila terbukti bermasalah, kami akan meminta KLHK agar mencabut sertifikat legalitas kayu agar perusahaan itu tak lagi mengekspor kayu,” kata Dian.
Di tempat terpisah, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Papua Komisaris Besar Edi Swasono mengatakan, pihaknya telah mengumpulkan data 10 perusahaan yang diduga terlibat mengirim kayu merbau ilegal. “Kami belum dapat mempublikasikan hasil penyelidikan ini,” tutur dia.
Modus penyelundupan
Yan Pugu mengungkapkan, sejumlah pihak terlibat mengambil kayu tanpa izin di Jayapura, Sarmi, Keerom, hingga Nabire. Mereka adalah masyarakat pemilik areal hutan adat, penyedia alat pemotong kayu, dan perusahaan yang menjualnya ke luar Papua.
Modusnya, masyarakat menyewakan area hutan dengan biaya Rp 200.000-Rp 300.000 per meter kubik. Lalu, pihak kedua menebang pohon dan mengubah dalam bentuk kayu pacakan, kayu batangan dan bukan produk kayu olahan.
Pihak ketiga, yakni perusahaan, berperan membayar masyarakat dan menyediakan mobil atau truk berisi kontainer pengangkut kayu-kayu dari hutan ke pusat kota Jayapura.
Perusahaan juga menyewa jasa perusahaan ekpedisi muatan kapal laut yang diduga tanpa memverifikasi legalitas kayu atau menggunakan dokumen SKSHH tidak valid.
“Setelah mendapatkan surat persetujuan berlayar dari KSOP Jayapura, perusahaan pelayaran kemudian melaporkan jumlah muatan ke pihak PT Pelindo IV Jayapura. Pihak Pelindo pun langsung mengangkut seluruh kontainer ke atas kapal sesuai dokumen dari perusahaan EMKL tersebut,” papar Yan.
Manajer Pelayanan Barang dan Aneka Usaha PT Pelindo IV Jayapura Edi Herianto mengatakan, pihaknya sama sekali tak tahu legalitas barang muatan dan hanya bertugas mengangkut kontainer ke kapal tepat waktu. “Bila ada surat larangan dari KSOP dan Dinas Kehutanan Papua, maka kami tidak mengangkut kontainer tersebut ke atas kapal,” kata dia.
Usut tuntas
Di Surabaya, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan meminta penyelidikan kasus pengiriman kayu merbau ilegal dari Papua dan Papua Barat menyentuh perusahaan pengguna. Tanpa itu, praktik kejahatan itu akan langgeng.
Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, Muhammad Ichwan, juga menilai, pemerintah kurang terbuka kepada publik saat mengusut kasus perdagangan kayu ilegal. Pada kasus pengiriman 384 kontainer, KLHK hanya mempublikasikan inisial dua dari empat perusahaan penerima kayu: PT SUAI di Gresik dan CV MAR di Pasuruan.
Pada konferensi pers di Surabaya, Rabu lalu, Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyatakan komitmen KLHK mengungkap kasus ini sangat serius. Seluruh penyidik PNS 60 orang dari berbagai daerah dikerahkan.
Penyidikan kayu merbau ilegal itu dilakukan satu tahun terakhir untuk menelusuri modusnya. Namun, baru akhir tahun 2018 dilakukan penangkapan. “Ini dilakukan jaringan yang terorganisir,” ucapnya.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK Rufi’ie mengatakan Ditjen PHPL masih berkoordinasi dengan Ditjen Gakkum KLHK terkait tindak-lanjut penanganan kasus ini. Ia meyakinkan bahwa KLHK tetap komitmen menjaga wibawa SVLK dengan memberi sanksi bagi pelanggar.
“Kalau salah, sertifikasi perusahaan bisa dicabut LVLK. Kalau LVLK yang ngawur nanti KAN yang nyabut setelah dilakukan audit khusus. Resminya yang mencabut nanti kementerian karena yang menetapkan menteri dan KAN pemberi akreditasi,” kata dia.
Rufi’ie mengatakan pihaknya bisa mencabut akses perusahaan terhadap Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) atau sistem ketelusuran bahan baku. Dampaknya, perusahaan tak lagi bisa melakukan ekspor.
Namun, temuan JPIK dalam “Kertas Posisi 2 Tahun Pelaksanaan Lisensi FLEGT” menyebutkan temuan pemegang izin yang sertifikatnya dibekukan atau dicabut serta kayu yang tak bersertifikat SVLK masih bisa masuk ke dalam SIPUHH. Hal ini memungkinkan terjadinya pencampuran bahan baku yang sumbernya tidak jelas. Karenanya, JPIK meminta agar data dan informasi penatausahaan kayu dan peredarannya dalam SIPUHH bisa diakses secara detil oleh pemantau independen dan masyarakat luas.
Sumber: Kompas “Dokumen Palsu Diselidiki pada Kasus Kontainer Ilegal” dan Kompas “Wibawa Indonesia Dipertaruhkan”