Pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) kerap tidak dipatuhi. Pengingkaran terhadap kebijakan terkait perlindungan hutan alam masih ditemukan di lapangan. Kalangan aktivis terus mendesak pemerintah memperketat pengawasan dan memberikan sanksi tegas bagi perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan SVLK.

Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhamad Kosar, menga­takan SVLK adalah upaya yang dibangun pemerintah untuk memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal. Penerapan SVLK juga merupa­kan upaya perwujudan good for­est governance atau tata kelola hutan yang baik di Indonesia. SVLK bersifat wajib (manda­tory) bagi seluruh perusahaan di bidang kehutanan baik di hulu maupun hilir.

“Penerapan SVLK mewajib­kan perusahaan menaati aturan-aturan yang belaku, di antaranya menghindari konflik sosial den­gan masyarakat sekitar konsesi, tidak memanfaatkan kayu dari kawasan lindung yang ditetap­kan perusahaan, dan bagi in­dustri kayu tidak menggunakan bahan baku kayu tanpa sertifikat SVLK,” katanya.

Ketiga aspek di atas merupakan beberapa prasyarat untuk sebuah kelulusan dalam proses verifikasi. Hasil penelusuran yang dilaku­kan oleh JPIK, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil me­nemukan masih terjadi ketidak­patuhan perusahaan pemegang izin terhadap pelaksanaan SVLK, khususnya di provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara.

“Pemberian sanksi tegas ter­hadap perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan SVLK mutlak diterapkan pemerintah, baik perusahaan yang bergerak di hulu maupun di tingkatan hilir,” ujar Kosar.

Dia mengungkapkan, sam­pai saat ini konflik masih ter­jadi antara masyarakat dan pe­rusahaan HTIPT Toba Pulp Lestari (PTTPL) di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Penebangan dan peram­pasan Hutan Kemenyan milik masyarakat adat oleh perusahaan TPL menjadi penyebab konflik dan menghilangkan sumber-sumber kehidupan masyarakat.

“Temuan lain dari hasil pe­mantauan lapangan, bahwa PT. TPL juga melakukan peneban­gan di sepadan sungai dan area lindung di dalam konsesinya,” sebut Kosar.

Pelanggaran terhadap aturan SVLK juga dilakukan oleh perusahaan HTIPT Adindo Hutani Lestari, yang bera­da di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Di dalam konsesi PTAdindo Hutani Lestari, ditemukan penebangan dan pembukaan lahan yang merupakan wilayah gambut dalam. “Pembukaan lahan pada wilayah gambut dalam dan praktik penebangan pada areal yang dilindung jelas melanggar aturan SVLK,” katanya.

Tidak hanya itu, perusahaan ini diindikasikan telah melakukan penyerobotan lahan masyarakat akibat ketidakjelasan tata batas dan tidak melalui Free Prior and Informed Consent (FPIC). “Indikasi pelanggaran ditemu­kan juga dalam rantai peredaran dan pasokan kayu ke tingkatan hilir, yaitu industri kayu primer,” imbunya.

Juru kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Mufti Barri menambahkan, di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, sebuah perusahaan industri kayu terbe­sar di Sulawesi diduga kuat menerima pasokan kayu dari sumber yang tidak memiliki legalitas. Sumber kayu tersebut berasal dari perusahaan HPH PT Mohtra Agung Persada di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.

“Data realisasi Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) sampai dengan bulan November 2015 memperlihatkan bahwa PT Panca Usaha Palopo Plywood masih menerima kayu dari PT Mohtra Agung Persada sebanyak 10.155,11 meter ku­bik,” katanya.

Ini tentu saja menunjukkan lemahnya sistem pengawasan terkait peredaran kayu bulat yang diterapkan pemerintah. “Seharusnya dokumen RPBBI yang dimiliki KLHK mampu menjaga bahwa hanya kayu-kayu dari sumber legal yang wajib dikonsumsi oleh industri,” ujarnya.

Konversi hutan alam tanpa adanya SVLK yang dilakukan oleh PT Mohtra Agung Persada akan menimbulkan konflik dan dampak buruk terhadap daya du­kung lingkungan di Halmahera Tengah. Sulitnya akses informasi terkait aktifitas perusahaan men­jadi kendala utama pengawasan dari masyarakat.

“Keterbukaan informasi da­lam pengelolaan hutan menjadi kunci agar masyarakat menge­tahui mana aktivitas perusahaan yang legal dan ilegal,” tandas­nya.

http://www.rmol.co/read/2015/12/28/229651/Kayu-Tanpa-Sertifikat-Masih-Marak-Beredar-Di-Industri-