Perizinan usaha kehutanan semakin dipermudah dalam Rencana Undang-Undang Cipta Kerja (RUU CK) meskipun UU tersebut bertujuan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur. Penghapusan koperasi dan izin perorangan, masyarakat lokal dan adat yang tidak lagi diikutsertakan, akses terhadap sumberdaya hutan hanya dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan BUMN, BUMD, dan perusahaan besar swasta nyatanya merupakan langkah yang bersebrangan dengan tujuan mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur.

Sejalan dengan itu, terbitnya Permendag No. 15 tahun 2020 yang saat ini telah dicabut dan kembali pada peraturan semula yakni Permendag Nomor 84/M-DAG/PER/12/2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Penolakan dari berbagai pihak beralasan karena peraturan tersebut menghilangkan pemberlakukan V-Legal dalam perdagangan industri kayu dan telah memutus tata kelola hulu – hilir legalisasi produk kayu. Apabila peraturan tersebut disahkan akan menyebabkan Indonesia melanggar komitmen FLEGT-VPA dengan Uni Eropa dan menimbulkan penurunan citra tata kelola hutan dan reputasi produk kayu Indonesia di kancah internasional, serta hilangnya kepercayaan dari pelaku usaha dan investasi yang selama ini patuh pada pelaksanaan SVLK.

Selain itu  kasus-kasus Perhutanan Sosial (PS) pada tiga kabupaten di Jawa Timur menjadi kesan belum seriusnya implementasi PS karena lemahnya birokrasi di tingkat kementerian. Disisi lain, kebijakan pemerintah, partisipasi masyarakat sipil dan pemantau independen (PI) dalam pemantauan dan pelaporan kasus pelanggaran merupakan aspek penting dalam mewujudkan tata kelola hutan dan penegakan hukum. Kelalaian dan lemahnya penanganan atas pengaduan dan pelaporan kasus kejahatan hutan seperti pembalakan liar, perambahan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan konversi lahan menjadi salah satu penghambat penegakan hukum.

Indonesia merupakan negara yang berlimpah akan sumber daya alam, termasuk sektor kehutanan dan perkebunannya. Namun, ancaman sumber-sumber penghidupan bagi masyarakat yang hidup di sektor tersebut terus terjadi, seperti yang dibahas pada tulisan Newsletter Edisi ke-15 kali ini. Hilangnya tanah kelahiran dan sumber mata pencaharian, munculnya konflik antara masyarakat dan perusahaan berbasis lahan merupakan akibat dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Dibutuhkan upaya-upaya yang konkret dari pemerintah untuk mengatasi konflik melalui penerapan kebijakan dan penindakan yang tegas bagi para pelaku kejahatan hutan. Transparansi dan keterbukaan informasi publik juga perlu ditingkatkan, sehingga publik dan pemantau independen memiliki kemudahan untuk mengakses dan mengetahui praktik dan perkembangan pengelolaan sumber daya alam.

Download Newsletter “The Monitor” ke-15:
Versi Bahasa Indonesia
Versi Bahasa Inggris