Semua Unit Management HPH, HTI, HTR dan Industri Lanjutan wajib mematuhi Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) sebagaimana diatur dalam Permenhut P.38/2009 jo P.68/2011 tentang SVLK dan PHPL. Bagi perusahaan yang tidak mengurus sertifikasi SVLK dan PHPL, jangan harap kayu bisnis anda diterima di pasaran internasional. Artinya, negara-negara sasaran eksport kayu dari Indonesia sudah tidak bisa menerima lagi kayu illegal.
Sejak tahun 2010 Indonesia menerapkan aturan sertifikasi mandatory yakni mengenai Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestasi (PHPL). Pelaksanaan sertifikasi Legalitas Kayu dan PHPL yang diatur melalui Peraturan Menteri No. 38/2009 jo P 68/2011 pada dasarnya bertujuan memastikan pengelolaan hutan secara legal dan lestari. Pertanyaannya adalah mengapa SVLK dan PHPL itu menjadi penting dalam perdagangan hasil hutan kayu? Tuntutan negara-negara pasar kayu mengharuskan aspek legalitas kayu, karena mereka tidak mau membeli hasil hutan kayu yang illegal. SVLK dan PHPL juga menjadi penting untuk menekan aktifitas lajunya pengrusakan hutan alam sebagai akibat dari pembalakan kayu baik yang legal maupun yang illegal. SVLK dan PHPL menjadi solusinya.
Persoalannya adalah penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dari hulu ke hilir ternyata tidak mudah. Progres capaian sarana memenangkan pasar ini ternyata masih terbilang lambat dan terus menuai keraguan, terutama dari kalangan pengembang hutan rakyat. Padahal, bersama HTI, hutan rakyat diklaim sudah mampu menjadi tulang punggung industri kayu nasional. Mampukah pemerintah meyakinkan pasar? Belum tentu juga. Sementara SVLK memang tidak gratis. Jadi, jangan heran ketika biaya yang keluar dipertanyakan imbalan manfaatnya yang bakal diperoleh. Apalagi jika persoalan fulus itu menyentuh pelaku usaha rakyat. Tidak hanya di industri, tapi juga di hulu, yakni hutan rakyat. Banyak unit management (UM) seperti HPH dan HTI juga merasa kebijakan ini cukup memberatkan dan bisa saja berindikasi buruk pada bisnis perkayuan yang mereka lakoni. Sayangnya, suka atau tidak, bukan hanya UM, tetapi usaha-usaha rakyat juga harus menerima kenyataan ini, bahwa saatnya perdagangan kayu baik untuk konsumsi lokal maupun untuk eksport haruslah legal dengan bukti sertifikasi tersebut.
Hal inilah yang jadi isu sentral ketika SVLK yang diatur lewat Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.P.38/2009 jo P/68/2011 akan segera ditindaklanjuti oleh revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.20/2008 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Berdasarkan aturan ini, maka industri berbasis kayu harus memegang SVLK. Hal yang sama juga berlaku untuk sumber bahan baku. Namun, berdasarkan data Kementerian Kehutanan, sampai pertengahan Maret 2012, industri yang sudah menggengam sertifikat legalitas kayu baru 210 unit industri. Padahal jumlah industri, termasuk industri mebel dan kerajinan yang menjadi penopang utama kinerja ekspor produk kayu, diperkirakan bisa mencapai 4.000 unit.
Dari sisi sumber bahan baku sama saja. Sampai kini baru 12 unit pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang dapat sertifikat legalitas kayu. Padahal, terdapat 292 unit IUPHHK Hutan Alam (HPH) dan 249 unit IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI) yang teregister di Kemenhut. Sementara dari sisi lahan non-kehutanan, hutan rakyat, tak kalah seret. Sampai kini, baru tujuh unit manajemen hutan rakyat yang dapat sertifikat legalitas kayu. Minimnya jumlah unit hutan rakyat yang sudah bersertifikat perlu jadi perhatian. Pasalnya, hutan rakyat kini menjadi salah satu pemasok utama industri pengolahan kayu, meninggalkan HPH. Bersama dengan HTI, hutan rakyat diklaim Kemenhut memasok sekitar 80% bahan baku industri yang totalnya sekitar 50 juta meter kubik.
Buat pelaku bisnis, dari kelas rakyat sampai konglomerat, manfaat biaya yang dikeluarkan selalu jadi isu sentral. Sejumlah UM (pelaku bisnis kayu) menyatakan kekesalan mereka: “Jujur saja, kami sebenarnya gamang dengan sertifikasi yang wajib dilakukan. Apa keuntungan ekonomi jika kami melakukan sertifikasi? Apakah akan dapat perbedaan harga? Jika ya, masyarakat pasti berduyun-duyun melakukan sertifikasi sukarela.” Sementara sejak tahun 2009, pemerintah Indonesia mulai mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp.2,5 hingga Rp.3 triliun dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Menteri Pembangunan Internasional (Department For International Development/DFID) Kerajaan Inggris, Andrew Mitchell pada 14 Februari 2012 di Balikpapan menegaskan bahwa pihak DFID juga sudah cukup berkontribusi terhadap sistem ini dengan mengucurkan tidak kurang dari 2 juta poundsterling selama tahun 2011 untuk membantu berbagai program kehutanan Indonesia, termasuk program SVLK.
Persoalannya adalah sampai dengan saat ini ‘bar code’ belum diterbitkan untuk menunjang syarat legalitas tersebut. Tanda kayu tebangan perusahaan sudah mengikuti SVLK adalah dengan dipasangnya bar code pada kayu tebangan tersebut. Selain berisi data tentang kayu yang bersangkutan seperti panjang, diameter, spesies, bahkan hingga hari dan tanggal pohon ditebang dan dari blok tebangan mana, bar code juga berisi tentang iuran dan kewajiban apa saja yang sudah dipenuhi perusahaan. Terkait hal ini, Listya Kusumawardhani, Direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan (BIK-PHH) Kementerian Kehutanan RI mengatakan bahwa “Bar code-nya baru bisa diterbitkan setelah perusahaan memenuhi semua kewajiban yang digariskan berdasarkan tata niaga kayu. Iuran yang wajib dibayar itu antara lain Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) atau disebut juga Iuran Hasil Hutan (IHH). SVLK baru wajib bagi perusahaan yang mencapai produksi atau menghasilkan tebangan hingga 60.000 kubik kayu per tahun. “Dari 157 industri kayu yang aktif, baru 97 perusahaan yang memiliki SVLK untuk hutan alam dan 22 perusahaan untuk hutan tanaman. Jadi baru ada 119 perusahaan yang mengadopsi sistem ini.,” ungkap Listya.
Sedangkan terkait kekhawatiran dari para pelaku usaha kayu terkait manfaat sertifikasi, justru perusahaan yang mengikuti SVLK akan mendapat keuntungan karena kayu produknya atau barang-barang yang dibuat dari bahan baku produknya tersebut mendapat sertifikat Indonesia Legal Wood atau V-Legal Marking. Tentu mempermudah pelaku bisnis untuk melakukan aktifitas eksport ke negara-negara pasar seperti Eropa yang mensyaratkan legalitas kayu. Dengan adanya sertifikat tersebut, konsumen di Eropa dan Jepang, juga Australia tidak lagi mempertanyakan legalitas atau asal usul kayu, termasuk juga kepedulian perusahaan atas hutan yang terpelihara dan berkelanjutan. Sayangnya, proses-proses sertifikasi baik SVLK maupun PHPL juga harus terpantau oleh masyarakat madani atau LSM sesuai permenhut P.38/2009 jo P.68/2011 tentang Pemantau Independen.
Untuk menjamin akuntabilitas dan kredibilitas sistem sertifikasi mandatory ini dan dalam upaya perbaikan tata kelola kehutanan, seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan kebijakan ini juga menyepakati masuknya komponen pemantauan independen dalam kelembagaan sistem sertifikasi mandatori ini. Pemantau independen yang merupakan kelompok masyarakat sipil di bidang kehutanan melakukan pemantauan terhadap proses-proses dan hasil sertifikasi dan juga terlibat dalam proses evaluasi dan perbaikan sistem. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) merupakan salah satu komponen Pemantau Independen sebagaimana terakomudir di dalam aturan tentang SVLK tersebut. JPIK terbentuk pada September 2011 sebagai bentuk partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan pembangunan sektor kehutanan yang legal, berkeadilan dan menghargai kelestarian lingkungan hidup.
Oleh Pietsau Amafnini.
Koordinator JASOIL Tanah Papua/Focalpoint JPIK Papua Barat.
Sumber : http://jasoilpapua.blogspot.com
Leave A Comment
You must be logged in to post a comment.