PERNYATAAN SIKAP

Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)

Pemerintah Indonesia telah menyatakan secara konkrit komitmen dan langkah nyatanya dalam memberantas illegal logging dan perdagangan kayu dan produk kayu yang dipanen secara ilegal. Diawali dengan menjadi tuan rumah Konferensi Asia Timur yang membahas tentang Penegakan Hukum dan Tata kelola Pemerintahan (Forest Law Enforcement Governance/FLEG) di Bali pada September 2001, semenjak itu, Indonesia terus berada di garis depan dalam memerangi illegal logging dan perdagangan kayu secara ilegal, termasuk melalui kerjasama internasional untuk mengatasi dari sisi perdagangan luar negeri.

Sebagai bagian dari upaya internasional untuk mengatasi masalah tersebut, semakin banyak negara-negara konsumen telah berkomitmen untuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah perdagangan kayu ilegal di pasar mereka, serta negara-negara produsen berkomitmen untuk menyediakan mekanisme dalam menjamin legalitas produk kayu mereka. Hal ini penting untuk membangun sistem yang kredibel dan akuntabel untuk menjamin legalitas panen, pengangkutan, pengolahan serta perdagangan kayu maupun produk turunannya.

Sejak tahun 2002, Indonesia mulai membangun dan mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk memberikan jaminan bahwa kayu dan produk kayu yang dihasilkan di Indonesia berasal dari sumber yang legal dan secara penuh sesuai dengan hukum dan peraturan Indonesia. Verifikasi melalui audit independen yang terakreditasi dan dipantau oleh masyarakat sipil beserta keterbukaan informasi publik yang lebih baik merupakan bentuk mekanisme penguatan kredibilitas dan akuntabiltas sistem ini; yang dengan demikian menjadi juga suatu sistem yang kemudian mendapat pengakuan serta keberterimaan oleh Pemerintah Uni Eropa dalam kesepakatan FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement Governance and Trade – Voluntary Partnership Agreement) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Uni Eropa pada bulan September 2013.

Saat ini perjalanan panjang yang disertai berbagai tantangan dalam penerapan SVLK secara penuh telah berhasil sampai pada titik keberterimaan Uni Eropa untuk pemberlakuan penuh berdasarkan sistem ini untuk memulai implementasi lisensi FLEGT. Parlemen Uni Eropa secara resmi telah menyatakan bahwa Indonesia telah memenuhi kesepatakan kedua belah pihak untuk dapat memulai pemberlakuan lisensi FLEGT. Dengan adanya no objection dari Parlemen Uni Eropa serta melalui keputusan bersama dalam Joint Implementation Committee (JIC) antara Indonesia dan Uni Eropa pada 15 September 2016, sudah dapat dipastikan lisensi FLEGT untuk produk SVLK akan berlaku mulai 15 Nopember 2016.

Pemberlakuan lisensi FLEGT sudah sepatutnya dimaknai sebagai tantangan dalam penguatan sistem serta dalam memperhatahankan dan meningkatkan kredibilitas dan akuntabilitas sistem, sebagai perwujudan dari keberlanjutan perbaikan tata kelola pada sektor kehutanan dan perdagangannya.[Pada 11 Mei 2016 JPIK dan lembaga pemantau independen lainnya telah mengeluarkan kertas posisi dalam rangka menyikapi pemberlakuan lisensi FLEGT, selengkapnya bisa dilihat pada tautan: http://jpik.or.id/pemberlakuan-lisensi-flegt-harus-diiringi-dengan-keberlanjutan-perbaikan-tata-kelola-pada-sektor-kehutanan-dan-perdagangannya/] Untuk itu, hal-hal yang berkenaan dengan implementasi sistem dan penegakannya harus terus menerus dipastikan sebagai perwujudan dari sistem yang semakin kredibel dan akuntabel. Hal ini tentunya telah dan terus perlu menjadi kesadaran bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Uni Eropa, sehingga kedua belah pihak tersebut harus terus saling mendukung upaya penguatan dari implementasi sistem ini. Kedua belah pihak harus memastikan keseriusan atas tindak lanjut dalam hal adanya ketidaksesuaian maupun perlunya langkah nyata penegakan hukum sehubungan dengan ancaman terhadap kredibilitas sistem, termasuk dalam hal ini bila ada temuan modus pemalsuan, penipuan, ataupun pinjam bendera yang nyata-nyata mencederai kepercayaan terhadap sistem ini.

Berdasarkan perkembangan yang terjadi saat ini, Jaringan Pemantauan Independen Kehutanan/JPIK, yang beranggotakan 51 lembaga masyarakat sipil serta 407 keanggotaan individu dari kalangan masyarakat sipil Indonesia, merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Uni Eropa beserta stakeholder lainnya untuk sesegera mungkin melakukan:

1. Pengawasan dan tindak lanjut nyata serta penegakan hukum terhadap pelanggaran (non-compliant) yang terjadi (karena akan mencederai akuntabilitas sistem secara keseluruhan) terhadap seluruh unit usaha di bidang kehutanan ataupun perdagangannya, agar tidak terjadi pemalsuan dan/atau jual beli dokumen, serta kasus pinjam bendera, serta melakukan proses hukum yang tegas bila pelanggaran ini ditemukan. Pemerintah juga perlu memastikan kepemilikan sertifikat legalitas kayu (S-LK) untuk seluruh perusahaan yang wajib memiliki S-LK sesuai ketentuan dalam SVLK.
Kasus perusahan-perusahaan besar yang mengaku sebagai IKM, sebagaimana telah disampaikan JPIK dalam laporan yang berjudul -Celah dalam Legalitas- http://jpik.or.id/celah-dalam-legalitas/ yang mengungkap tentang temuan nyata berbagai indikasi kuat terjadi pelanggaran. Perusahaan-perusahaan yang melakukan ribuan pengapalan dengan tujuan ekspor yang bernilai miliaran rupiah dengan memanfaatkan ‘Deklarasi Ekspor’ yang pernah diberlakukan (sementara seharusnya hanya bisa digunakan oleh IKM sesungguhnya). Meskipun terdaftar sebagai industri kehutanan, perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya tidak beroperasi sebagai industri pengolahan (pabrik). Perusahaan juga ditengarai ‘menjual’ Deklarasi Ekspor kepada perusahaan lain yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak bersertifikat SVLK (seharusnya tidak bisa melakukan ekspor). Perusahaan juga didapati tidak terdaftar dalam instansi yang berwenang.[ Laporan Celah dalam Legalitas: Bagaimana Keputusan Menteri Perdagangan Dimanfaatkan Oleh Eksportir Kayu Dan Melemahkan Reformasi Hukum, selengkapnya bisa dilihat pada tautan: http://jpik.or.id/celah-dalam-legalitas/ ]
Kasus pemalsuan dokumen Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) oleh salah satu perusahaan yang berada di Jawa Timur.
Kasus pemanfaatan kayu (tanpa izin IPK) hasil pembukaan lahan perkebunan sawit oleh beberapa perusahaan di Kalimantan Tengah. Indikasi ilegalitas/ ketidaksesuaian meliputi: diterbitkannya Izin Usaha Perkebunan (IUP) sebelum izin lingkungannya disetujui (beroperasi tanpa izin lingkungan), berlangsungnya pemanfaatkan kayu sebelum IPK diterbitkan, pembukaan areal hutan di luar batas IUP (di dalam kawasan hutan), serta berlangsungnya operasi di wilayah ‘gambut dalam’ (baik di dalam IUP maupun di luar batas IUP).
Kasus pemanfaatan kayu hasil tebangan tanpa Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK);
2. Melakukan review perizinan terhadap eksportir (pelaku usaha yang melakukan ekspor), termasuk perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), guna memastikan eligibilitas dari pelaku usaha di bidang kehutanan dan perdagangannya sebagai landasan pemastian hukum, untuk kemudian benar-benar eligibel (berhak) masuk dalam sistem jaminan legalitas kayunya (SVLK);
3. Melakukan pendampingan, memfasilitasi pembiayaan proses sertifikasi dan memberikan jaminan kayu bersertifikat (S-LK) pada industri kecil menengah (IKM);
4. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Uni Eropa harus melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang nantinya ditemukan terlibat dalam perdangan kayu masih tanpa berlisensi ekspor yang telah disyaratkan (Dokumen V-Legal atau lisensi FLEGT), ataupun bila lisensinya bermasalah. Pemerintah juga harus menjamin adanya transparansi informasi mengenai penanganan dan penegakan hukum yang terjadi, serta jaminan penyediaan data dan informasi untuk kepentingan Pemantauan Independen;
5. Audit (penilaian/verifikasi) yang dilakukan oleh lembaga penilai/verifikasi harus sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, sehingga apabila ada kelemahan pada sistem yang menyebabkan perbedaan nilai/bobot penilaian agar segera dilakukan penguatan pada standar penilaian/verifikasi.

Selain hal tersebut di atas, harus terus menerus dilakukan penguatan standar penilaian/verifikasi dalam SVLK, sehingga persoalan yang sering menjadi perdebatan berkenaan dengan tata batas dalam penguasaan/pemanfaatan serta pengelolaan hutan, konflik, kerusakan lingkungan, konversi hutan, kebakaran hutan dan lahan, korupsi, serta mal-administrasi maupun potensi penyimpangan bisa secara bertahap mendapatkan kejelasan termasuk dari sisi hukum perundangan serta terselesaikan dengan solusi terbaik yang dapat dilakukan.

 

Yogyakarta, 15 September 2016

Jaringan Pemantauan Independen Kehutanan (JPIK), Forest Watch Indonesia (FWI), PENA Aceh,YLL Sumut, MITRA INSANI Riau, Q BAR Sumbar, CAPPA Jambi, WBH Sumsel, ULAYAT Bengkulu, YKWS Lampung, LSPP DIY-Jateng, PPLH Mangkubumi Jatim, PHMN Banten, TITIAN Kalbar, Yayasan Kaharingan Kalteng, LPMA Kalsel, PADI Kaltim, GAPETA BORNEO Kaltara, JURNAL CELEBES Sulsel, KOMNASDESA Sultra, ROA Sulteng, WALHI Sulbar, JAPESDA Gorontalo, JASOIL Papua Barat, PTPPMA Papua, VM3 Maluku Utara, Kaoem Telapak, PADI Kaltim, TEROPONG Kalteng, IWGFF, WALHI Kaltim, ARUPA Yogyakarta, YASCITA Sultra, KPHSU Sumut, TRITON Papua Barat, KOMPLEET Jateng, AMAN Kalsel, AMAN Bengkulu, AMAN Kalbar, SHOREA Yogyakarta, LANGSAT Kalsel, TII Jakarta, ECOTON Jatim, LINGKAR Sulsel, LP3M Kaltim, JAPESDA Gorontalo, WALHI Sulbar, ROA Sulsel, SPI Jateng, KEPUH Jatim, YTMI Sulsel, AMAN Luwu, SMS Sulsel, YLBHI Makasar, WALLACEA Sulsel, AMAN Sulsel, WANUA Sulsel, WALHI Sulsel, PBS Palopo, HaKi Sumatera Selatan.

Unduh Pernyataan Sikap JPIK 150916