Kata Dwi Sudharto, Dirjen BPPHH-Kemenhut: “SVLK merupakan solusinya, dimana praktek illegal logging memang dalam sejarah memuncak naik pada tahun 2006, tetapi sejak tahun 2009 dengan lahirnya P.38/2009, praktek itu dinilainya menurun. Walaupun diakuinya, di lapangan praktek masih sering ditemukan. Menurunnya kasus illegal logging juga karena peran Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) yang memainkan peran strategisnya di lapangan, dan ini harus diakui karena Pemantau Independen tersebar dari Aceh hingga Papua.

Penerapan Stantar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) diakui tidaklah mudah, tetapi Dirjen BUK-Kemenhut tidak pernah berhenti sejak awal deklarasi Bali tentang FLEGT pada tahun 2001. Sampai dengan perkembangan terakhir, memang diakui masih banyak tantangan, tetapi dalam rangka implementasi penuh FLEGT-VPA telah dilaksanakan Joint Assessment tentang kesesuaian SVLK dengan EUTR (April-September 2013). Hasil Joint Assessment tersebut, kemudian dituangkan dalam Indonesia-EU Action Plan on FLEGT-VPA sesuai kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa  pada Joint Preparatory Committee (JPC)  dan Joint Expert Meeting (JEM) pada tanggal 26 & 28 November 2013. Menurut DR. Dwi Sudharto, Direktur BPPHH, hal ini merupakan sebuah kemajuan luar biasa.

SVLK merupakan inisiatif dan komitmen Pemerintah Indonesia, bukan atas dorongan atau intervensi dari negara lain dalam upaya menjamin legalitas kayu dan produk perkayuan Indonesia yang dipasarkan baik dalam negeri maupun tujuan ekspor (meningkatkan daya saing dan membuka peluang pasar), menekan pembalakan liar (illegal logging), menuju tercapainya Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan ketaatan terhadap peraturan yang berlaku, membangun budaya penggunaan produk legal, serta dalam rangka meningkatkan martabat bangsa. Demikian ungkap Direktur BPPHH Kemenhut-RI, DR. Dwi Sudharto pada kesempatan konsultasi publik revisi peraturan SVLK Regional Bali, NTB, NTT, Maluku, Papua dan Papua Barat di Sanur Paradise Plaza Hotel, Denpasar saat memberikan arahan pada 4 Maret 2014.

Dwi Sudharto dalam arahannya menerangkan bahwa pengembangan dan pelaksanaan SVLK sudah menempuh berbagai tahap dalam 14 tahun terakhir. Komitmen itu terbangun sejak Deklarasi Bali tentang FLEGT. Pada tahun 2002, terbangun kerjasama bilateral dengan USA, Jepang, Cina, Inggris, dan Australia. Pada tahun 2003, SVLK dikembangkan bersama-sama dengan multistakeholders guna menyusun sebuah aturan yang bisa digunakan sebagai pedoman.

Secara kronologis dapat diurutkan sebagai berikut. Tahun 2007, mulai ada negosiasi FLEGT-VPA dengan konsekuensi bahwa aturan SVLK akan diterbitkan sesuai mandat Deklarasi Bali. Pada tahun 2009, lahirlah Permenhut No: P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Pada tahun 2010, Uni Eropa pun menerbitkan peraturannya yakni EU-Timber Regulation No.995/2010. Pada tahun 2011, Aturan SVLK yakni P.38/2009 direvisi menjadi Permenhut No: P.68/Menhut-II/2011. Perubahan ini pun melibatkan semua stakeholders, termasuk Pemantau Independen (PI) dari kalangan masyarakat madani dan LSM. Pada tahun yang sama, Joint Statement FLEGT-VPA terlaksana. Tahun 2012, Shipment Test dilakukan untuk menguji keampuhan SVLK/FLEGT-VPA ke Uni Eropa. Pada tahun ini juga lahirlah Permendag No.64/2012 tentang ketentuan Eksport produksi industri kehutanan. Masih pada tahun yang sama, P.38/2009 , P.68/2011 direvisi dengan P.45/2012. Tahun 2013, mulai pemberlakuan EUTR, penandatanganan FLEGT-VPA (30/9) dan Ratifikasinya; Implementasi SVLK terhitung berlaku sejak 1 Januari; Permendag Tahun 2014 ini, Permendag No.64/2012 direvisi dengan Permendag No.81/2012. Awal 2014 ini, Ratifikasi EUTR (27/2) dan Joint Prepatory Committee (JPC) dan Joint Expert Meeting (JEM).

 Menurut Dwi, hal ini merupakan langkah maju yang luar biasa dalam proses yang sangat panjang dan tentu sangat melelahkan. Namun di lain pihak, Dwi mengakui SVLK Indonesia merupakan yang terbaik di Asia maupun di seluruh dunia. Hal ini juga diakui karena memang semua stakeholders terlibat penuh sejak awal dimana ada pemerintah dalam hal ini Kemenhut-RI dan pihak pebisnis sektor kehutanan (IUPHHK-HA/HT/RE, IUPHHK-HTR/HKm/HD, IUIPHHK, IRT/Pengrajin), serta pihak Lembaga Penilai PHPL dan Lembaga Penilai VLK, serta Pemantau Independen (PI) yang merupakan peran strategis masyarakat dan LSM sebagaimana terakomodir di dalam peraturan SVLK.

Terkait jumlah Lembaga Penyurvei, Dwi menyebut ada 14 LVLK yang diakreditasi sesuai prosedur yang ada di BUK-Kemenhut melalui KAN-Komite Akreditasi Nasional  yakni PT. BRIK, PT. Sucofindo, PT. Mutuagung Lestari, PT. Mutu Hijau Indonesia, PT. TUV International Indonesia, PT. Equality Indonesia, PT. Sarbi Moerhani Lestari, PT. SGS Indonesia, PT. Transtra Permada, PT. Trustindo Primakarya, PT. Ayamaru Certification, PT. PCU Indonesia, PT. Global Resource Certification, PT. Scientific Certifiction System Indonesia. Sedangkan LP-PHPL yang juga terakreditasi oleh KAN juga berjumlah 14 unit, diantaranya: PT. Ayamaru Certification, PT. Sarbi International Certification, PT. Sucofindo SBU (SICS), PT. Almasentra Certification, PT. Rensa Global Trust, PT. Forescitra Sejahtera, PT. Mutuagung Lestari, PT. Nusa Bakti Mandiri, PT. Equality Indonesia, PT. Multima Krida Cipta, PT. TUV International Indonesia, PT. Global Resource Sertification, PT. Transtra Permada, PT. Trustindo Primakarya.

Terkait kemajuan sertifikasi, kurang lebih dalam kurun waktu 2009 – 2014 sudah sekitar 2 juta hektar yang disertifikasi: PHPL-HT, 63 unit (4.973.287 ha); PHPL-HA, 127 unit (12.534.005 ha); PHPL-KPH, 8 unit (249.227 ha); VLK-HT, 54 unit (1.460.675 ha); VLK-HA, 23 unit (1.658.060 ha); VLK-Hutan Hak, 84 unit (48.665 ha) dan VLK-Industri, 944 unit. Dari jumlah sertifikasi ini setidaknya sudah 198 unit PHPL dan 1105 unit VLK. Sehingga keseluruhan yang tersertifikasi 1,303 unit management.

Upaya ini juga merupakan langkah strategis untuk menekan laju kerusakan hutan dan praktek illegal logging hingga illegal trading. Sehingga kata Dwi Sudharto, Dirjen BPPHH-Kemenhut, SVLK merupakan solusinya, dimana praktek illegal logging memang dalam sejarah memuncak naik pada tahun 2006, tetapi sejak tahun 2009 dengan lahirnya P.38/2009, praktek itu dinilainya menurun. Walaupun diakuinya, pada praktek di lapangan masih sering ditemukan. Bahkan bisa saja ada modus-modus baru yang diciptakan oleh para pengusaha kayu baik di hulu maupun hilir, bahkan eksportirnya. Pihaknya mengakui juga bahwa menurunnya kasus illegal logging juga karena peran Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) yang memainkan peran strategisnya di lapangan, dan ini harus diakui karena Pemantau Independen tersebar dari Aceh hingga Papua. Ditegaskan pula bahwa jika ada LP-PHPL dan LVLK yang tidak kerja berdasarkan prosedur, maka pihaknya juga tidak akan tolerir, dan buktinya sudah ada LP-PHPL yang akreditasinya untuk melakukan sertifikasi itu sudah dicabut oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional).

***Koordinator JASOIL Tanah Papua/Focalpoint JPIK Papua Barat – Pietsau Amafnini