Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutaan (JPIK) Muhamad Kosar mengatakan, pihaknya menemukan perusahaan industri yang menerima kayu bulat tanpa pelaksanaan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Karena itu, pemerintah harus memperketat pengawasan dan memberikan sanksi tegas bagi perusahaan yang terbukti melanggar.
Hasil penelusuran yang dilakukan oleh JPIK, Forest Watch Indonesia (FWI), Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Maluku Utara menemukan, masih terjadi ketidakpatuhan perusahaan pemegang izin terhadap pelaksanaan SVLK, khususnya di provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara.
“Pemberian sanksi tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan SVLK mutlak diterapkan pemerintah, baik perusahaan yang bergerak di hulu maupun di hilir,” kata Kosar di Jakarta kemarin.
Dia menegaskan perusahaan hutan tanaman industri PT Adindo Hutani Lestari di Kalimantan Utara telah melakukan pelanggaran SVLK. Di dalam konsesinya, perusahaan itu menebang dan membuka lahan yang merupakan wilayah gambut dalam.
“Pembukaan lahan pada wilayah gambut dalam dan praktik penebangan pada areal yang dilindung jelas melanggar aturan SVLK,” ujar Kosar. Tak hanya itu, perusahaan ini diindikasikan telah menyerobot lahan masyarakat akibat ketidakjelasan tata batas dan tidak melalui free prior and informed consent (FPIC).
Hal serupa diungkapakan Fathul Barri, juru kampanye FWI. Dia mengatakan, indikasi pelanggaran ditemukan juga dalam rantai peredaran dan pasokan kayu ke tingkatan hilir, yaitu industri kayu primer. Salah satu perusahaan yang diidentifikasi adalah PT Panca Usaha Palopo Plywood yang berada di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Perusahaan industri kayu terbesar di Sulawesi ini diduga kuat menerima pasokan kayu dari sumber yang tidak memiliki legalitas. Mufti menambahkan, sumber kayu tersebut berasal dari perusahaan HPH PT Mohtra Agung Persada di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Data realisasi Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) sampai November 2015 memperlihatkan bahwa PT Panca Usaha Palopo Plywood masih menerima kayu dari PT Mohtra Agung Persada sebanyak 10.155,11 meter kubik. Ini tentu saja menunjukkan lemahnya sistem pengawasan terkait peredaran kayu bulat yang diterapkan pemerintah.
“Seharusnya dokumen RPBBI yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mampu menjaga bahwa hanya kayu-kayu dari sumber legal yang wajib dikonsumsi oleh industri,” ujar Mufti.
Dia menambahkan, konversi hutan alam tanpa adanya SVLK yang dilakukan PT Mohtra Agung Persada akan menimbulkan konflik dan dampak buruk terhadap daya dukung lingkungan di Halmahera Tengah. Pihaknya juga mengakui sulitnya akses informasi terkait aktivitas perusahaan menjadi kendala utama pengawasan dari masyarakat.
“Keterbukaan informasi dalam pengelolaan hutan menjadi kunci agar masyarakat mengetahui mana aktivitas perusahaan yang legal dan ilegal,” kata Mufti. Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah segera melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar SVLK, menghentikan aktivitas konversi hutan alam dan lahan gambut serta memfasilitasi penyelesaian konflik antara masyarakat dan perusahaan.
http://geotimes.co.id/sanksi-tegas-mutlak-diberikan-kepada-pelanggar-svlk/