September 2019 ini adalah tepat satu tahun diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Lewat kebijakan ini, pemerintah mencoba untuk melakukan peningkatan tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), serta untuk peningkatan pembinaan petani sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit.

Moratorium dan evaluasi perkebunan sawit merupakan momentum baik untuk melakukan perbaikan tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Model yang digunakan dalam moratorium sawit ini adalah data-data dan informasi akan mengalir dari kabupaten/kota menuju tim kerja nasional moratorium sawit via provinsi, dimana pemerintah sudah mengeluarkan beberapa wilayah prioritas yakni Sumatera Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Hal ini dengan asumsi bahwa daerah-daerah tersebut adalah wilayah-wilayah dimana perkebunan sawit terluas, artinya lewat 7 wilayah prioritas tersebut lebih dari setengah perkebunan sawit telah dijangkau.

Tulisan ini adalah kelanjutan dari hasil monitoring dan dokumentasi terhadap kerja-kerja dan capaiancapaian dalam implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 dalam semester awal. Tulisan ini juga berharap memberikan informasi berkenaan dengan tantangan-tantangan implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018, dan elaborasi lebih jauh bagaimana menghubungkan kebijakan ini dengan kebijakan-kebijakan lainnya sehingga Inpres ini dapat membumi dan terimplementasi dengan baik dalam satu tahun.

Terdapat beberapa temuan dalam implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 dalam satu semester, diantaranya kerja-kerja implementasi Inpres dalam satu semester awal masih bersifat persiapan dan koordinasi, tidak ada capaian yang signifikan. Belum ada kasus-kasus tumpang tindih yang menjadi perhatian publik diselesaikan lewat Inpres ini. Dari 25 Provinsi dan 247 Kabupaten/Kota yang mempunyai perkebunan sawit, mayoritas belum memberikan respon terhadap Inpres ini (19 propinsi, dan 239 Kabupaten/Kota). Pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yakni PT HIP (Hardaya Inti Plantations) di Buol, Sulawesi Tengah pada November 2018 lewat SK Menteri LHK diindikasikan ‘memunggungi’ Inpres tersebut. Di sisi lain, terdapat beberapa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten yang mempunyai komitmen kuat untuk mengimplementasikan Inpres ini diantaranya Provinsi Aceh, Kabupaten Buol (Sulawesi Tengah), dan Sanggau (Kalimantan Barat), yang diindikasikan dengan lahirnya kebijakan lokal (peraturan daerah atau instruksi kepala daerah).

Beberapa rekomendasi dalam mengimplementasikan Inpres No 8 Tahun 2018 diantaranya, 1) Pemerintah pusat perlu mengalokasikan anggaran khusus bagi implementasi Inpres bagi daerah-daerah yang mempunyai komitmen ; 2) Tim kerja di tingkat nasional perlu menyusun sebuah dokumen panduan teknis implementasi Inpres yang dapat menjadi rujukan pemerintah daerah ; 3) Wilayah-wilayah provinsi dan kabupaten yang belum memiliki perkebunan sawit atau mempunyai kawasan hutan yang baik perlu juga menjadi wilayah prioritas ; 4) Perlu hadirnya sebuah mekanisme mengedepankan asas keterbukaan dalam hal data, informasi dan update perkembangan implementasi Inpres sehingga dapat dipantau dan diakses oleh publik atau kelompok masyarakat sipil serta 5) Perlu dibangunnya platform komunikasi antara tim kerja nasional dan pemerintah daerah untuk mempermudah koordinasi.

Download dokumen Laporan Satu Tahun Implementasi Inpres Moratorium Sawit