Industri Perkebunan sawit merambah Kalimantan sejak tahun 1980’an dan ekspansinya tetap berjalan hingga kini. seperti halnya di berbagai kawasan di Indonesia, industri sawit Kalimantan tidak terbebas berbagai persoalan praktik yang tidak ramah lingkungan, rawan perampasan lahan, pelanggaran hak, baik terhadap pekerja maupun masyarakat di sekitarnya, serta perubahan sosial dan budaya. Desakan-desakan perubahan mendasar atau reformasi tata kelola perkebunan sawit bermunculan, baik dalam hal penegakan hukum, maupun pembentukan hukum baru yang lebih tegas.
Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam hal keberlanjutan dan perbaikan tata kelola kelapa sawit berawal dari inisiasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada tahun 2011. Revisi ISPO berlangsung pada tahun 2015 yang pada saat itu sejumlah laporan dan penelitian membeberkan rantai pasokan industri sawit Indonesia yang alpa dalam penyelesaian permasalahan lingkungan, sehingga berbagai pihak meminta Indonesia sebagai produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar untuk memberi perhatian khusus kepada aspek ekologi. Sejak pemberlakuan ISPO per Maret 2011 sampai dengan Februari 2016, terdapat 225 sertifikat ISPO yang telah diberikan, dengan cakupan seluar 1,4 juta ha area (statusya masih sama per Februari 2017), dan CPO yang tersertifikasi mencapai 5,9 juta ton per tahun. Penerbitan sertifikasi ISPO meningkat signifikan dalam rentang waktu 2 tahun, Februari 2016 – 2017, yakni 290% dari rata-rata persentase penerbitan sertifikat ISPO per tahun sejak 2011.
Menanggapi hal tersebut, Kelompok Masyarakat Sipil Region Kalimantan mengeluarkan Kertas Posisi dengan judul “Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan”.
Kertas posisi dapat diunduh pada link berikut: Kertas Posisi Kelompok Masyarakat Sipil Region Kalimantan