Pada tanggal 20 Maret 2020, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi di seluruh Indonesia mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia untuk pencabutan atau revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Koalisi masyarakat sipil memiliki peran aktif dalam pemantauan implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), demi terwujudnya tata kelola hutan yang baik dan berkelanjutan. Sejak 2003, sebagian dari koalisi telah terlibat dalam proses penyusunan SVLK, dan telah berperan aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait pemantauan dan penguatan SVLK, sejak diimplementasikan pada 10 September 2010. Mengapa peduli dengan SVLK? Karena SVLK menandai sejarah panjang bagi Indonesia dalam upaya reformasi sektor kehutanan dan tata kelola hutan, saat dicap/dianggap sebagai negara yang tidak peduli dengan kelestarian hutan. Pembalakan Haram atau IIllegal Logging (IL), yang mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan, merusak reputasi produk kayu Indonesia, dan berdampak pada terjadinya ‘boikot’ terhadap produkproduk kayu Indonesia.
Seperti Bapak Presiden ketahui, saat ini SVLK oleh beberapa pihak dianggap menghalangi investasi padahal SVLK merupakan instrumen untuk mendorong tata kelola kehutanan ke arah yang lebih baik dengan mencegah terjadinya peredaran kayu hasil illegal logging. Melalui Peraturan Menteri Perdagangan pertanggal 27 Februari 2020 Nomor 15 Tahun 2020 (Permendag 15/2020) tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, Dokumen V-Legal yang menjadi standar verifikasi legalitas kayu sesuai peraturan SVLK tidak lagi menjadi syarat ekspor untuk produk industri kehutanan. Permendag 15/2020 tidak sesuai dengan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dimana Pemerintah bertanggung jawab mencegah dan memberantas perusakan hutan dan dapat melakukan kerja sama internasional dalam mencegah perdagangan dan/atau pencucian kayu tidak sah. Selain itu, Permendag 15/2020 juga tidak sesuai dengan Permen LHK 30/2016 yang mensyaratkan Dokumen V-Legal sebagai salah satu dokumen ekspor untuk produk kayu. Melalui penerbitan Permendag 15/2020, Kementrian Perdagangan tidak menghiraukan usaha dan peran yang dilakukan KLHK dan stakeholders lainnya, termasuk masyarakat sipil dalam menjaga lingkungan sekaligus memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam, terutama kayu, dilakukan secara lestari dan berkelanjutan.
Berdasarkan data yang ada, nilai ekspor mebel kayu Indonesia bergantung pada pasar yang meminta legalitas, artinya SVLK adalah kunci untuk meningkatkan nilai ekspor. Pada tahun 2019 saja, dari nilai ekspor mebel kayu Indonesia sebesar 1,4 miliar USD, sebesar 1,2 miliar USD berasal dari negara yang meminta jaminan legalitas (FLEGT Independent Market Monitoring, 2020). Data lain menyebutkan, 41 persen ekspor mebel kayu dari Kabupaten Jepara diekspor ke Eropa dan 33,2 persen ke negara yang terus mendorong penguatan legalitas kayu yang mereka impor. Jumlah IKM yang berhasil menjadi eksportir di Jepara mengalami peningkatan karena permintaan pasar yang meminta jaminan legalitas kayu dari 219 menjadi 386 IKM atau naik 82 persen sejak 2013 hingga tahun 2018. Menghilangkan kewajiban Dokumen V-Legal/SVLK pada proses ekspor produk kayu Indonesia akan melemahkan daya saing produk ekspor Indonesia dan bukan stimulus yang tepat.
Apabila situasi saat ini terus berlanjut hingga diberlakukannya Permendag 15/2020 pada 26 Mei 2020 mendatang, koalisi masyarakat sipil memandang adanya kemunduran tata kelola kehutanan di Indonesia dan hilangnya insentif industri hilir yang sudah melakukan perbaikan. Pelaku usaha yang memiliki komitmen pengelolaan secara berkelanjutan seolah-olah dipandang sebelah mata dan hanya dipermainkan saja dengan berubahnya berbagai peraturan dan kebijakan yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Seperti yang telah Bapak Presiden ketahui, Indonesia telah menandatangani dan selanjutnya meratifikasi Perjanjian FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement and Governance-Voluntary Partnership Agreement) dengan Uni Eropa (UE) pada tahun 2014, yaitu suatu perjanjian perdagangan bilateral yang mengikat secara hukum bagi negara yang menandatanganinya. Perjanjian ini bertujuan untuk memastikan bahwa hanya kayu dan produk kayu legal Indonesia yang dapat diekspor/diperdagangkan ke Uni Eropa. Lebih lanjut, Pasal 10 VPA mengatur bahwa Indonesia juga memberlakukan SVLK untuk kayu yang diekspor ke negara non Uni Eropa dan dijual di pasar domestik. Dampak dihilangkannya dokumen V-Legal sebagai persyaratan ekspor dalam Permendag 15/2020 menyebabkan Indonesia melanggar perjanjian VPA tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, koalisi masyarakat sipil memohon kepada Bapak Joko Widodo, Presiden Repubik Indonesia untuk memerintahkan pencabutan atau revisi Permendag 15/2020 mengingat :
- Tidak sesuai dengan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013, karena melemahkan usaha – usaha memperbaiki tata kelola kehutanan, mengurangi kerusakan hutan dan pembalakan liar.
- Tidak sesuai dengan PermenLHK 30/2016 dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakpastian berusaha.
- Menyebabkan Indonesia melanggar komitmen FLEGT-VPA dengan Uni Eropa sesuai dengan Perpres 21/2014 tentang Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu ke Uni Eropa, yang berdampak pada hilangnya jalur hijau perdagangan produk kayu Indonesia ke Uni Eropa,.
- Menurunnya daya saing ekspor produk industri kehutanan dengan negara produsen kayu lainnya karena saat ini beberapa negara lain seperti Vietnam misalnya, telah menandatangani VPA dengan Uni Eropa dan segera menerapkan sertifikasi legalitas kayu.
- Penurunan citra tata kelola hutan dan reputasi produk kayu Indonesia di kancah Internasional.
- Hilangnya kepercayaan dari pelaku usaha dan investasi baik yang selama ini patuh pada pelaksanaan SVLK.