Sorong, 4 Agustus 2020—Pengadilan Negeri Sorong kembali memeriksa kasus dugaan pembalakan liar. Pada 23 Juli 2020, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Sorong telah membacakan dakwaan atas nama Felix Wiliyanto, direktur PT Bangkit Cipta Mandiri (PT BCM). Felix oleh JPU didakwa atas dugaan pelanggaran Pasal 83 ayat (1) huruf b jo. Pasal 12 huruf e Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kasus Felix Wiliyanto (FW) ini menambah rentetan kasus pembalakan liar di Tanah Papua, khususnya Papua Barat. FW bukanlah nama baru dalam dunia perkayuan di Papua Barat. Pasca Operasi Hutan Lestari II(operasi gabungan penegakan hukum ilegal loging di Papua dan Papua Barat)nama FW pernah disebut pada kasus Faisal Abdul Naser dan Aceng Danda, dua orang anggota Polri yang sempat dipidana terlibat kasus pembalakan liar. Pada kasus tersebut posisi FW sebagai saksi sekaligus pemilik kayu.[1] 

Sementara, pada saat ini, kasus FW bermula dari kegiatan operasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Februari 2020. Tim Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (BPPH) wilayah Maluku Papua ketika itu menemukan aktivitas pemuatan hasil hutan kayu ke atas kapal KLM Sumber Harapan III. Kayu jenis merbau, dengan jumlah lebih dari 100-meter kubik itu tidak dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) dan masuk dalam kawasan konservasi. FW ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2020, namun penahanan yang bersangkutan baru dilakukan pada Juli 2020. Penahanan FW dilakukan melalui penangkapan yang dilakukan di Jakarta secara paksa, setelah FW dua kali mangkir dari panggilan penyidik.

Dalih pembelaan FW sebagaimana dikutip dalam salah satu wawancaranya dengan media di Sorong mengatakan bahwa kayu yang disita adalah kayu Non-Police Line (NPL).[2] FW juga menyajikan bukti setor Provisi Sumber Daya Hutan yang dibayarkan pada 2013 dan 2014. Lantas apakah benar kayu yang ditangkap adalah kayu yang ia peroleh dari kayu sitaan NPL? Apakah bukti setor itu mencakup kayu yang ditangkap pada Februari 2020?

Atas dalih FW tersebut, dapat ditekankan bahwa, pertama, soal kayu non police line (NPL). Pada 27 Desember 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan telah menghapus dan menyatakan tidak berlaku status kayu NPL.[3] Terbitnya surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu salah satunya karena banyaknya klaim kayu NPL di Papua Barat ketika ditangkap oleh penegak hukum. Artinya sejak surat itu terbit, tidak ada lagi status kayu NPL yang beredar di manapun di Papua Barat. Hal ini terbukti dengan tidak adanya gugatan atau keberatan atas surat Menteri LHK tersebut. Sementara, penangkapan FW oleh Gakkum KLHK dilakukan setahun lebih setelah surat itu terbit.Artinya, status NPL sudah tidak berlaku lagi terhadap penegakan hukum yang dilakukan pada tahun 2020 terhadap FW.

Kedua, pada tahun 2017, PT Bangkit Cipta Mandiri dinyatakan tidak memenuhi kriteria Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) oleh PT Sucofindo, lembaga sertifikasi yang menilai PT BCM.[4] Sebab PT BCM menyatakan tidak melakukan penerimaan bahan baku kayu. Berdasarkan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), setiap kayu yang beredar harus lolos verifikasi legalitas kayu. Selain itu, dalam dokumen penilaian tersebut tidak menyebut bahwa PT BCM memiliki kayu hasil lelang apalagi berasal dari kayu NPL.

Kasus FW ini merupakan kasus berulang. Beberapa kasus pembalakan liar asal Papua atau Papua Barat yang pernah disidang, selalu mendalilkan kayu yang ditangkap merupakan kayu masyarakat atau kayu NPL khusus di Papua Barat. Mengenai kayu masyarakat, berdasarkan pemantauan Koalisi, masyarakat hanya memperoleh kompensasi antara 100 ribu sampai 600 ribu rupiah per meter kubik kayu yang ditebang dari tanah ulayat mereka. Padahal untuk satu meter kubik kayu di Papua maupun Papua Barat mencapai 7 juta rupiah per meter kubik. Jika tiba di luar Papua harga kayu itu akan berkali lipat. Pada situasi ini keuntungan terbesar bukan pada Orang Asli Papua. Mereka kerap ditumbalkan oleh para cukong untuk lepas dari jeratan hukum.

Selain itu, beberapa kasus terhenti pada aktor di Papua saja. Padahal pasokan kayu di Papua tersebut berkaitan dengan permintaan dari luar Papua. Dalam hal ini sangat mungkin FW merupakan aktor lapangan, sementara aktor sesungguhnya adalah – pihak-pihak lain, baik yang berada di wilayah Papua atau di wilayah lain. Mereka bisa saja sebagai pihak yang mendanai perbuatan di Papua sekaligus menerima keuntungan paling besar. Oleh karena itu, penyidik KLHK harus mengembangkan kasus FW ini dengan menelusuri aliran transaksi keuangan PT BCM maupun FW. Apalagi sejak 2017, dalam situs http://silk.dephut.go.id/, PT BCM tidak tercatat sebagai pemegang sertifikat legalitas kayu. Selama periode 2017 – 2020 jika PT BCM melakukan transaksi penjualan kayu dengan perusahaan lain, maka, perusahaan yang menerima aliran kayu tersebut patut diduga terlibat pencucian kayu yang diduga ilegal.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil meminta:

  1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengembangkan kasus FW untuk melihat aktor lain yang terlibat;
  2. Penyidik untuk mengembangkan kasus menggunakan pendekatan rezim hukum tindak pidana pencucian uang;
  3. Menelusuri transaksi kayu oleh PT BCM selama periode 2017-2019;
  4. Menerapkan pidana korporasi terhadap kasus pembalakan liar yang dilakukan FW maupun terhadap kasus-kasus lainnya di Papua.
  5. Pihak penegak hukum terhadap kasus FW untuk mengabaikan status NPL sebagai alibi dari tindakan pembalakan liar yang dilakukannya.

[1] Faisal Abdul Naser dan Aceng Danda pada Januari 2008 diputus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakuan tindak pidana berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 116 PK/Pid/2007.

[2] Kayu Non Police Line (NPL) adalah kayu bukan barang bukti terkait Operasi Hutan Lestari II tahun 2005 sebanyak 221.221,92 meter kubik. Penyelesaian pemanfaatannya diserahkan kepada Gubernur Provinsi Papua Barat. Berdasarkan peraturan bersama Gubernur Papua dan Papua Barat kayu tersebut diutamakan untuk pemenuhan bahan baku industri di Papua Barat. Pengangkutan kayu ini harus disertai surat keterangan sahnya kayu bulat (SKSKB) atau saat ini dikenal dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK). Kesepakatan antara Kementerian Kehutanan dan Gubernur Papua Barat untuk penyelesaian NPL ini harus selesai lima bulan sejak kesepakatan ditandatangani, yaitu 17 April 2009. Lebih lanjut lihat Kesepakatan Bersama Menteri Kehutanan dengan Gubernur Papua Barat No. PKS.2/Menhut-VI/2009, No. 522.2/277.GBP/2009 tentang Penyelesaian Kayu Non Police Line di Provinsi Papua Barat.

[3] Surat Penghapusan Status Kayu Non Police Line (NPL) No. S.408/Menlhk/Setjen/GKM.2/12/2018

[4] Lebih lanjut lihat http://silk.dephut.go.id/app/Upload/vlk/20180321/633593cb5c8e12164366aeb75c63975c.pdf, diakses pada 4 Agustus 2020

KOALISI MASYARAKAT SIPIL:
Papua Forest Watch, Perkumpulan Bantuan Hukum dan Keadilan Papua, Pusaka Bentala
Rakyat, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, Auriga Nusantara, Kaoem Telapak,
Greenpeace Indonesia, WALHI Papua, PAHAM Papua, Foker LSM Papua, ELSAM, Walhi
Eksekutif Nasional, Indonesia Corruption Watch, AMAN Sorong Raya, AMAN Malamoi.

Dokumen Siaran Pers