A. Latar Belakang
Penebangan liar di Indonesia mencapai puncaknya pasca turunnya presiden Soeharto dan era reformasi dimulai. Krisis ekonomi dan ketidakpastian hukum setelah peralihan kekuasaan dimanfaatkan dengan baik oleh sejumlah orang yang memiliki pengaruh untuk mengeksploitasi sumber daya hutan, terutama kayu-kayu tropis yang memiliki nilai komersial tinggi. Pada masa tindak penebangan liar mencapai puncak, tingkat kehilangan hutan alam tertinggi terjadi di Indonesia, yaitu sekitar 2 juta Ha (FWI/GFW, 2001) dan berdasarkan studi yang dilakukan CIFOR pada tahun 2004, diperkirakan sekitar 80% kayu Indonesia berasal dari sumber ilegal.
Maraknya penebangan liar di Indonesia merupakan salah satu penyebab rusaknya kondisi hutan dan telah menimbulkan kerugian yang luar biasa. Studi Indonesia Corruption Watch (ICW) selama kurun waktu 2004-2010 menyatakan bahwa, kerugian negara akibat pembalakan liar di Indonesia mencapai Rp 169,7 triliun. Nilai sebesar itu diperoleh dari perhitungan kekurangan penerimaan negara dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan serta sejumah perijinan dan royalti. Kerugian ini belum termasuk kehilangan sumber daya alam hayati dan kerugian yang disebabkan oleh bencana alam yang dipicu rusaknya hutan. Rusaknya hutan juga berdampak langsung terhadap hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan serta memicu terjadinya konflik sosial.
Upaya pemerintah dalam memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal, serta perwujudan good forest governance, salah satunya dengan menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini dikembangkan melalui proses multi stakeholder yang diharapkan sebagai pendekatan bertahap (stepwish approach) menuju pengelolaan hutan secara lestari serta memberikan jaminan atas legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. SVLK menjadi sentral dalam perjanjian kemitraan (voluntary partnership agreement) antara Indonesia dan Uni Eropa karena digunakan sebagai sistem jaminan bagi legalitas kayu. Di bawah sistem ini, semua produk yang tercakup dalam perjanjian tersebut harus memiliki lisensi legal agar dapat memasuki pasar Uni Eropa.
Pemerintah Indonesia memberlakukan SVLK pada tahun 2009 dengan dikeluarkannya Permenhut No P.38/Menhut-II/2009, dan mulai menerapkannya pada bulan September 2010. Kepatuhan terhadap SVLK bersifat wajib (mandatory) bagi seluruh perusahaan di bidang kehutanan. Sampai dengan September 2015, setidaknya terdapat sebanyak 1.957 sertifikat yang telah diterbitkan oleh lembaga sertifikasi (Tabel 1). Total jumlah sertifikat tersebut diyakini belum mencakup seluruh pemilik izin. Sampai saat ini masih ada pemilik izin yang beroperasi tanpa memiliki sertifikat legalitas kayu.
Tabel 1. Jumlah Pemilik Izin di Bidang Kehutanan dan Kepemilikan Sertifikat SVLK sampai September 2015
Sumber: Data IUPHHK-HT, HA, RE dari Buku basis spasial kehutanan, November 2014. Data kepemilikan sertifikat hasil kompilasi JPIK September 2015 dari berbagai sumber
Dalam rangka memastikan kepatuhan terhadap SVLK, kemudian Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Forest Watch Indonesia (FWI) dan mitra kerjanya di daerah, melakukan pemantauan terhadap 2 (dua) perusahaan hutan tanaman industri (HTI/IUPHHK-HT) yang telah memiliki Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL), yaitu PT. Toba Pulp Lestari di Sumatera Utara dan PT. Adindo Hutani Lestari di Kalimantan Utara. Selain itu penelusuran juga dilakukan terhadap perusahaan HPH/IUPHHK-HA yang belum memiliki sertifikat, yaitu PT. Mohtra Agung Persada di Maluku Utara. Termasuk industri-industri kayu yang diduga kuat menampung kayu-kayu yang bersumber dari perusahaan PT. Mohtra Agung Persada dan perusahaan-perusahaan IPK yang masih dipertanyakan legalitas hukumnya.
B. Pelanggaran Terhadap Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)
B.1. Pelanggaran di Tingkat Hulu (konsesi)
Berdasarkan temuan lapangan, masih ditemukan sejumlah pelanggaran oleh perusahaan yang telah memiliki sertifikat. Masih terjadi konflik tenurial karena tidak adanya proses sosialisasi dan konsultasi menyeluruh dalam hal permintaan persetujuan masyarakat adat (free prior and informed consent) masih menjadi masalah besar. PT. Toba Pulp Lestari telah melakukan penebangan hutan kemenyan yang merupakan hutan adat, dimana sebelumnya telah ada kesepakatan pengelolaan bersama antara perusahaan dengan masyarakat (Lampiran Gambar 1). Situasi ini semakin diperparah dengan belum adanya kepastian kepemilikan kawasan hutan karena belum selesainya proses tata batas dan pengukuhan kawasan. Temuan lapangan lainnya adalah praktik-praktik penebangan pada kawasan yang dilindungi, seperti sempadan sungai dan jalur hijau (Lampiran Gambar 2). Sedangkan temuan lapangan terkait kinerja PT. Adindo Hutani Lestari adalah penebangan hutan alam dan perusakan lahan gambut (Lampiran Gambar 3).
Informasi pada Tabel 2 di bawah merupakan temuan-temuan lapangan yang memperlihatkan ketidakpatuhan terhadap SVLK yang dilakukan oleh 2 perusahaan HTI tersebut.
Tabel 2. Temuan Lapangan atas Ketidakpatuhan Dua Perusahaan HTI terhadap SVLK
PT. Mohtra Agung Persada, merupakan perusahaan HPH/IUPHHK-HA yang aktif beroperasi (Lampiran Gambar 4) tetapi tidak memiliki Sertifikat Legalitas Kayu. Namun demikian, perusahaan ini diindikasi telah melakukan pelanggaran, berupa penebangan di luar konsesi, pengiriman kayu tanpa sertifikat, maupun penggelapan laporan hasil produksi.
Pada periode Januari sampai dengan September 2015, perusahaan ini telah melakukan pengiriman kayu bulat dengan tujuan Sulawesi Selatan dan Jawa Timur . Salah satu industri kayu sebagai penerima kayu bulat dari PT. Mohtra Agung Persada adalah PT. Panca Usaha Palopo Plywood yang berlokasi di Kabupaten Luwu, di Provinsi Sulawesi Selatan. Walaupun sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang, data Kementerian Kehutanan menunjukkan tidak ada produksi kayu bulat berasal dari Maluku Utara.
Informasi yang diperoleh dari kunjungan lapangan bahwa pengiriman kayu bulat melalui kapal juga dilakukan oleh perusahaan yang diindikasikan tidak memiliki izin pemanfaatan kayu (IPK), yaitu Tani Padedele dan Tani Dote, dua perusahaan yang beroperasi di sekitar konsesi PT Mohtra Agung Persada. Berdasarkan data Sahbandar dan Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSB), kayu jenis Meranti dan Rimba Campuran tersebut diangkut dengan tujuan Kabupaten Luwu di Provinsi Sulawesi Selatan dan Gresik di Provinsi Jawa Timur (Tabel 3 dan Lampiran Gambar 5).
Tabel 3. Data Angkut Kayu Bulat dari Konsesi PT. Mohtra Agung Persada
Sumber: Data Olahan dari Sahbandar, 2015
Selain itu, pengiriman kayu juga dilakukan oleh perusahaan lain yang diindikasikan diperoleh dari PT. Mohtra Agung Persada dengan tujuan wilayah Buru, Kuala Kapuas, Palopo, Surabaya, Gresik, Banda Luwu, Tidore, Lampung, dan Tanjung Priok. Menggunakan perantara perusahan-perusahan IPK (dipertanyakan legalitasnya) seperti ini, diduga kuat menjadi modus PT. Mohtra Agung Persada dalam memanen dan menjual kayu di wilayah Halmahera Tengah.
B.2. Pelanggaran Rantai Pasokan Kayu di Tingkat Hilir (Industri Kayu)
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu, mewajibkan seluruh industri pengolahan kayu menggunakan bahan baku yang berasal dari sumber yang bersertifikat, peraturan ini berlaku efektif sejak Januari 2015. Berdasarkan temuan lapangan dan analisis dokumen Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ditemukan industri PT. Panca Usaha Palopo (PT. PUP) mengkonsumsi kayu yang berasal dari PT. Mohtra Agung Persada yang belum memiliki sertifikat SVLK.
PT. Panca Usaha Palopo merupakan industri kayu yang memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) dari PT. Mutu Agung Lestari, dengan nomor sertifikat LVLK-003/MUTU/LK-031. PT. PUP kemudian menyalurkan sebagian kayunya, dan salah satu pemasoknya adalah PT. Mohtra Agung Persada, kepada industri-industri kayu yang berada di Jawa Tengah. Tabel 4 di bawah menjelaskan industri-industri kayu yang menerima kayu yang masih dipertanyakan keabsahan sumber bahan bakunya. Ataupun industri-industri kayu yang menerima kayu dari industri yang salah satu pemasoknya merupakan perusahan yang belum memiliki sertifikat.
Tabel 4. Rantai Peredaran Bahan Baku Kayu yang Belum Dapat Dipastikan Legalitasnya
Sumber: RPBBI Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, status realisasi sampai dengan November 2015
C. Pengingkaran Kebijakan Perlindungan Hutan Alam, Lahan Gambut dan Konflik Lahan
Indonesia merupakan produsen pulp dan kertas terbesar ketiga di dunia, dan berada diperingkat pertama di Asean. Untuk pemenuhan bahan baku industri pulp dan kertas, Indonesia telah membangun sekitar 10 juta hektar hutan tanaman industri yang dikelola oleh 338 konsesi. Konsesi tersebut dikuasai oleh dua grup raksasa industri pulp dan kertas salah satunya APRIL.
Dalam operasinya, APRIL telah berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan di seluruh areal kerja perusahaan dengan menerapkan praktik-praktik terbaik dalam bidang sosial, lingkungan dan ekonomi seperti yang terdapat dalam filosofi bisnis perusahaan yaitu apapun yang perusahaan lakukan harus “Baik bagi Negara, Baik bagi Masyarakat dan Baik bagi Perusahaan.”
Presiden Direktur PT RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) yang juga Managing Director APRIL Indonesia Tony Wenas mengatakan dengan SFMP 2.0, APRIL grup menyetop pemanenan kayu yang bukan berasal dari tanaman sejak 15 Mei 2015. APRIL grup juga memastikan seluruh rantai pasok bahan bakunya bebas dari deforestasi serta menambah penilaian Stok Karbon Tinggi untuk memperkuat upaya konservasi yang dilakukan. Penguatan SFMP juga memastikan APRIL grup akan meningkatkan pengelolaan gambut, dan lebih transparan dengan prinsip PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi Tanpa Paksaan) dalam menjalankan kemitraan dengan masyarakat.
Sayangnya temuan lapangan hasil pemantuan JPIK, FWI dan mitra kerjanya, bahwa PT. Adindo Hutani Lestari yang merupakan anak perusahaan RAPP, sampai saat ini masih melakukan aktifitas perusakan lahan gambut, bahkan ada sebagian yang merupakan wilayah gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter. PT. Adindo juga masih ditemukan melakukan penebangan hutan alam (Tabel 5) untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku industri pulp dan kertas. Temuan-temuan ini dapat dikatakan sebuah bentuk pengingkaran dari komitmen mereka untuk menjalankan kebijakan internal SFMP dan hanya menjadi pencitraan agar produknya laris dipasar dunia.
Tabel 5. Penggunaan kayu dari hutan alam oleh RAPP bulan September – November 2015
Sumber: RPBBI Kementerian LHK, status laporan terakhir bulan November 2015
Sementara itu, PT Toba Pulp Lestari yang masih mempunyai hubungan dengan APRIL grup, sampai saat ini masih menyisakan konflik sosial dan memicu terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Kondisi ini sebagai akibat tidak berjalannya proses Padiatapa/FPIC. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat setempat dan sejumlah organisasi masyarakat sipil, bahkan telah menjadi salah satu agenda di dalam Inquiry Nasional Komnas HAM.
D. Rekomendasi
Berdasarkan berbagai permasalahan diatas, Forest Watch Indonesia (FWI) dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mendesak kepada pihak:
- Pemerintah harus segera melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, menghentikan aktivitas konversi hutan alam dan lahan gambut, membuat kebijakan pelarangan penggunaan bahan baku kayu dari hutan alam untuk industri pulp, menyelesaikan persoalan tumpang tindih lahan yang secara nyata menimbulkan maraknya konflik dan memfasilitasi penyelesaian konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan.
- Lembaga Sertifikasi sesegera mungkin melakukan audit khusus/audit tiba-tiba kepada perusahaan yang memiliki sertifikat legalitas kayu yang menggunakan bahan baku yang tidak jelas legalitasnya dan terhadap perusahaan yang melanggar standart, kriteria dan indikator penilaian.
- APRIL harus patuh terhadap ketentuan SVLK dan menunjukan keseriusannya dalam menjalankan kebijakan internal mereka untuk melakukan perlindungan hutan alam, dengan menghentikan konversi dan penggunaan kayu hutan alam, melakukan perlindungan terhadap lahan gambut dan melakukan renegosiasi ulang dengan masyarakat yang berada didalam dan sekitar konsesi dengan mengacu pada prinsip dasar Padiatapa/FPIC.
Untuh Lembar Fakta:
– tuatan