Perubahan penggunaan kawasan hutan secara besar-besaran untuk kebutuhan produksi saat ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya deforestasi, lebih-lebih penggunaan kawasan tersebut dilakukan dengan secara ilegal dan atau izin penggunaan kawasan tersebut didapatkan dari proses korupsi sehingga izin tersebut yang sebenarnya ilegal menjadi seolah-olah legal. Kasus korupsi perizinan penggunaan kawasan hutan menjadi kawasan produksi saat ini bukanlah hal baru, pada tahun 2013 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Riau Rusli Zainal atas dakwaan pemberian izin bagan kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (BKUPHHK-HT) pada tahun 2004 silam. Atas pemberian izin tersebut pemerintah mengalami kerugian sebesar Rp 265,9 Milyar lebih, kerugian ini dihitung berdasarkan jumlah kayu yang ditebang. Kasus Gubernur Riau Rusli Zainal dalam hal korupsi perizinan bukan merupakan kasus terakhir dalam Republik Indonesia, sepanjang 2013-2020 masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang ditangani oleh KPK dan penegak hukum lainnya.

Deforestasi atau perubahan kawasan hutan jika terus dilakukan akan berdampak pada hilangnya tutupan hutan hujan tropis yang menjadi habitat asli satwa dan tumbuhan. Kepunahan spesies hewan dan tumbuhan seiring dengan berjalannya waktu. Selain itu, daerah resapan air pun bisa hilang karena tak adanya hutan sebagai penjaga siklus air. Air hujan yang turun akan langsung mengalir di permukaan dan menyebabkan erosi. Efek samping dari terjadinya erosi adalah hilangnya kesuburan tanah akibat pencucian tanah oleh air hujan yang terus menerus, banjir akibat tanah yang tidak dapat meresap air, hingga akhirnya menimbulkan tanah longsor.

Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) dengan menggunakan data analisis spasial Global Forest Watch (GFW) dan Forest Watcher yang telah dikembangkan oleh WRI Indonesia. Platform tersebut memiliki kemampuan untuk melihat titik kehilangan tutupan pohon, perubahan fungsi lahan, hingga yang terbaru adalah metode yang memungkinkan tersedianya indikasi kehilangan tutupan pohon yang cepat (Near Real-Time). JPIK juga menggunakan metode prioritas wilayah pemantauan hutan untuk mengidentifikasi area yang terindikasi mengalami penebangan hutan secara ielgal dalam skala besar. Metodologi Pantau Jejak mengidentifikasi area dengan jumlah peringatan kehilangan tutupan pohon mingguan tertinggi (menggunakan peringatan GLAD) pada daerah di mana penebangan hutan dilarang secara hukum.

Download Fact Sheet Analisis Illegal Logging dan Deforestasi